tag:blogger.com,1999:blog-79048580799118092462024-02-07T14:10:37.950+10:30Zen's Bloghidup perlu diabdikan dan diabadikan,
salah satunya dengan menulis...M. Zainal Anwarhttp://www.blogger.com/profile/11049042467723348903noreply@blogger.comBlogger15125tag:blogger.com,1999:blog-7904858079911809246.post-67069584122967029702008-11-26T16:04:00.003+10:302008-11-26T16:32:04.826+10:30Bercermin pada Transportasi Publik di Adelaide<p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: normal;"><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="ES-TRAD">Sudah hampir 2 bulan ini saya berada di Adelaide, Ibukota Negara Bagian Australia Selatan (South Australia). Ketika datang sekitar awal September 2008 lalu, saya betul-betul bingung sekaligus terkesan dengan sistem transportasi yang dikembangkan di kota ini. Bagaimana tidak, memakai jasa layanan transportasi publik sudah menjadi andalan saya sejak di Yogyakarta dengan </span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="IN">K</span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="ES-TRAD">opata-nya maupun di Jakarta dengan </span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="IN">T</span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="ES-TRAD">rans</span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="IN">-</span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="ES-TRAD">Jakarta atau </span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="IN">K</span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="ES-TRAD">opaja. Bukan hendak membandingkan, namun menikmati jasa transportasi publik di Adelaide bagi saya terasa lain. </span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: normal;"><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";">Kebijakan transportasi publik di Adelaide diatur oleh lembaga pemerintah bernama </span><i style=""><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="IN">D</span></i><i style=""><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";">epartment for Transport, Energy and Infrastructure. </span></i><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";">Dalam departemen ini ada divisi transportasi publi</span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="IN">k yang bertanggungjawab terhadap tata kelola </span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";">transportasi publik di Adelaide </span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="IN">yang dikenal dengan </span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";">nama <i style="">Adelaide Metro</i></span><i style=""><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";"> </span></i><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="IN">(AM)</span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";">. </span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="IN">Dalam </span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";">penyediaan layanan transportasi </span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="IN">publik, AM </span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";">memiliki beberapa mitra seperti <i style="">Trans Adelaide</i> yakni </span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif"; display: none;">A Government agency that provides the Adelaide Metro train and tram services.</span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";">lembaga pemerintah yang menyediakan layanan kereta dan trem; <i style="">Torrens Transit </i>yang menyediakan layanan bis </span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="IN">di</span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";"> jalur lingkar Timur dan Barat; <i style="">SouthLink </i>yang menyediakan layanan bis ke arah jalur lingkar Utara dan Selatan; serta <i style="">Transitplus </i>yang menyediakan layanan bis ke </span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="IN">daerah perbukitan </span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";">dan </span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="IN">sekitarnya</span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";">.</span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";"> </span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="IN">Para mitra ini dikontrak untuk memberikan jasa layanan selama 5 tahun dengan opsi perpanjangan, tergantung pada kinerja dan kesepakatan nilai kontrak.</span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="IN"> </span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";">Penilaian kinerja ini dilihat dari berbagai aspek; harga tiket yang diberikan, kepuasan dan keamanan penumpang serta manajemen infrastruktur </span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";"><span style=""> </span></span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="ES-TRAD">(www.adelaidemetro.com.au/ </span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="IN">diakses </span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="ES-TRAD">pada 28 Oktober 2008)</span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="IN">.</span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: normal;"><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="IN">Sejauh pengalaman saya memakai transporasti publik di Adelaide, </span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="ES-TRAD">setidaknya </span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="IN">a</span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="ES-TRAD">da 3 jenis moda transportasi publik </span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="IN">yang lazim dikenal </span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="ES-TRAD">yaitu bis (807 buah), kereta (94), dan trem (15). </span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="IN">Bisa dikatakan, semua jenis </span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="ES-TRAD">transportasi ini terawat dengan baik dan memakai bahan bakar gas yang lebih murah dan ramah lingkungan.</span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify; line-height: normal;"><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="ES-TRAD"> </span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify; line-height: normal;"><b><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="ES-TRAD">Murah dan Efisien</span></b><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: normal;"><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="ES-TRAD">Rata-rata penduduk di Adelaide lebih suka menggunakan transportasi publik daripada kendaraan pribadi. George, 60 tahun, warga Australia asal Yunani yang telah 20 tahun lebih tinggal di Adelaide, mengaku lebih suka naik bis karena lebih murah, nyaman, dan relatif aman. “Saya memang punya mobil, tapi dengan naiknya harga bensin, menggunakan transportasi publik lebih efisien dan murah,” kata pria yang saya temui ketika sama-sama menunggu bis di sebuah halte di </span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="IN">daerah </span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="ES-TRAD">Goodwood Road. </span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: normal;"><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="IN">George hanya satu di antara ribuan warga kota Adelaide yang memilih menggunakan transportasi publik. Dengan kebijakan tiket konsesi, memakai jasa transportasi publik jelas lebih hemat. George memberi gambaran, jika memakai mobil, harga bensin per liter sekitar $ 1,45. Belum lagi biaya parkir yang biasanya dihitung per jam. </span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: normal;"><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="ES-TRAD">Pemerintah membuat kebijakan tiket konsesi bagi pelajar dan mahasiswa (termasuk mahasiswa internasional), pensiunan, veteran perang maupun orang tua. Dengan tiket konsesi ini, kita cukup membayar separo harga dari tiket normal. </span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="IN">Sistem tiket ini dikenal dengan nama <i>metroticket</i>, sebuah sistem otomatis yang menggunakan strip magnetik untuk mengetahui berapa kali digunakan dan validasi jam penggunaan. Tiket ini </span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="ES-TRAD">bisa dibeli di kantor pos atau toko yang ditunjuk. </span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="IN">Menariknya, hanya dengan membeli satu tiket, kita bisa bepergian dengan beragam jenis moda transportasi publik yang ada (bis, kereta dan trem) tanpa harus membeli tiket lagi selama dua jam. Artinya, jika kita masuk ke salah satu jenis transportasi publik pada jam 9 pagi, maka kita tidak akan terkena biaya apapun untuk bepergian hingga jam 11 pagi pada hari yang sama. </span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: normal;"><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="IN">Ada tiga jenis tiket yang dikenal yakni <i>singletrip </i>(sekali perjalanan), <i>multitrip </i>(sepuluh perjalanan) dan <i>daytrip </i>(tiket harian). Data tahun 2005-2006 di situs <i>Adelaide Metro </i>menunjukkan<i>, </i>mayoritas penumpang menggunakan multitrip (71%) dan hanya 22 persen yang memilih menggunakan singletrip. Pilihan untuk mengunakan tiket multitrip memang beralasan. Untuk tarif normal, kita dikenakan biaya $ 15.30 jika melakukan perjalanan pada Senin-Jumat pada jam 9 pagi hingga 3 sore. Adapun tarif konsesinya hanya $ 7.30. Tiketnya berwarna hitam. </span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: normal;"><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="IN">Jika kita hendak bepergian selain waktu tersebut dan pada Sabtu-Minggu, maka tarif normalnya adalah $ 27.80 dan jika menggunakan tarif konsesi hanya sebesar $ 13.80. Tiketnya berwarna merah. Untuk jenis multitrip ini bisa digunakan kapan saja selama 10 kali perjalanan, tergantung pemakaian kita. Bandingkan dengan harga <i>singletrip </i>yang mencapai $ 2.10 untuk harga konsesi atau $ 4.20 untuk non-konsesi.</span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: normal;"><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="DA">Setiap tiket dimasukkan ke kotak yang disebut <i>validator machine</i>. Jangan coba memasukkan tiket yang sudah kadaluarsa atau tiket konsesi padahal kita tidak masuk dalam kategori tersebut. Jangan pula tidak memasukkan tiket sama sekali. </span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="ES-TRAD">Jika kebetulan ada pemeriksaan dan kita melakukan pelanggaran, dendanya sangat tinggi. </span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: normal;"><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="IN">Jangan bayangkan ada semacam kondektur di angkutan publik. Setiap bis hanya ada satu sopir. Bila hendak naik bis, kita cukup berdiri di dekat halte dan melambaikan tangan. Jika hendak berhenti, kita cukup memencet bel yang ada di hampir tiap kursi dan sopir akan berhenti di halte berikutnya. </span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify; line-height: normal;"><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="IN"> </span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify; line-height: normal;"><b><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="IN">Tepat Waktu dan Aman</span></b><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: normal;"><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="ES-TRAD">Sistem transportasi publik di Adelaide terencana baik dan dijalankan secara profesional. Setiap bis punya jadwal yang ditentukan sedemikan rupa di tiap haltenya. Artinya, kita cukup mengetahui jadwal bis melewati halte tempat kita menunggu. Misalnya, saya hendak ke Central Market di kota. Salah satu bis yang menuju ke sana bernomor 199. Bis itu akan melewati Halte 26 detak rumah saya pukul 9 pagi. Nah, kita cukup menunggu bis pada jam tersebut. Pemerintah menjamin jadwal bis tak akan jauh melenceng. Keterlambatan maksimal hanya 15 menit. Pemerintah merilis informasi jadwal dan rute bis di internet maupun melalui leaflet yang disediakan gratis di tempat-tempat umum.</span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: normal;"><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="ES-TRAD">Di Adelaide, menjadi lelaziman untuk mendahulukan orang tua, orang cacat, ibu hamil maupun ibu yang membawa anak ketika kita akan menaiki bis. </span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="DA">Jika ada orang dengan kategori tersebut, sang sopir segera akan memiringkan bis agar mereka bisa naik dengan nyaman dan aman. Tak hanya itu, orang tua atau difabel juga mendapat tempat duduk di bagian depan yang lebih longgar. Penumpang </span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="ES-TRAD">difabel dengan kursi roda diberi tempat khusus agar tetap bisa duduk di kursi rodanya sendiri.</span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: normal;"><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="ES-TRAD">Bis di kota ini dilengkapi kamera guna mencegah terjadinya kejahatan. Di beberapa halte utama, pemerintah juga memasang kamera pengawas agar penumpang tak takut bepergian hingga larut malam. Suatu kali saya pernah bepergian dan berhenti di sebuah halte di pinggiran kota, Klemzig Station namanya. Di stasiun ini, kamera pengawas </span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="IN">memantau segala aktivitas yang ada selama </span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="ES-TRAD">24 jam</span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="IN">. Selain itu, stasiun-stasiun di Adelaide juga menyediakan lahan parkir agar warga dari luar kota bisa memarkir mobil dan berganti dengan transportasi publik.</span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: normal;"><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="IN">Menariknya lagi, Adelaide Metro juga menyediakan layanan bis dan trem gratis yang berkeliling di tengah kota dan berhenti di tempat-tempat strategis seperti Victoria Square, Central Market, atau The South Australian Museum. Karena itu, jika ingin berkeliling kota, kita cukup menggunakan angkutan gratis yang disebut dengan <i>city loop</i> ini.</span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify; line-height: normal;"><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="IN"> </span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify; line-height: normal;"><b><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="IN">Modal Komitmen</span></b><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: normal;"><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="IN">Menilik sistem transportasi di Adelaide tersebut, terlihat bahwa pemerintah sedari awal telah berkomitmen untuk menciptakan jaringan transportasi publik publik yang aman, nyaman, dan murah. Dengan sistem ini, pemerintah mengajak warganya berhemat sekaligus menyelamatkan lingkungan. Menggunakan transportasi publik, demikian kampanye pemerintah, bisa menghemat uang hingga 10.000 dollar Australia dan mengurangi gas rumah kaca hingga 3,1 ton. </span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: normal;"><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="IN">Sistem transportasi di Adelaide juga mencerminkan keberpihakan pemerintah kepada pelajar dan mahasiswa, orang tua, veteran hingga pensiunan. Keamanan dan kenyamanan transportasi publik membuat orang berpikir ulang untuk memakai mobil ketika bepergian. </span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";" lang="ES-TRAD">Jika ada komitmen dan kemauan dari pemerintah, menghadirkan model transportasi publik ala Adelaide di kota-kota di Indonesia rasanya bukan mimpi. </span><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt;"><span style="font-family: "Book Antiqua","serif";"><o:p> </o:p></span></p> bisa dilihat di;<br />http://www.ireyogya.org/ire.php?about=f31_potensi.htmM. Zainal Anwarhttp://www.blogger.com/profile/11049042467723348903noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7904858079911809246.post-58912384517968257982008-11-18T12:00:00.000+10:302008-11-18T12:08:39.685+10:30Menjumpai Demokrasi ala Amerika di RusiaKisah nyata tentang 3 orang Amerika yang ikut “bermain” dalam pemilu di Rusia. <br /><br />Sejarah Rusia pada tahun 1996 adalah era dimana pemilihan umum yang bebas untuk pertama kalinya akan digelar. Namun, ada kegelisahan yang menyelinap dihati Boris Yeltsin, Presiden Rusia waktu itu. Ia menghadapi persoalan serius; tentang popularitasnya yang rendah dimata rakyat, padahal pemilu tinggal beberapa bulan lagi.<br /><br />Inilah cerita film yang berjudul Spinning Boris; Electing A Russian President. Cerita film diawali seorang Rusia yang menghampiri tiga orang konsultan politik Amerika, George Gorton, Dick Dresner dan Joe Shumate. Setelah dilobi beberapa saat, mereka bertiga setuju untuk bergabung dengan tim kampanye guna memuluskan jalan Boris Yeltsin. <br /><br />Disambut hawa dingin kota Moscow, tibalah tiga orang tersebut di salah satu bandara di Rusia. Sekelompok pengawal yang lengkap dengan senjata, segera menggambarkan betapa kondisi Rusia, Moscow khususnya, masih diliputi ketegangan sisa-sisa kekuasaan komunis. Cerita pun dimulai ketika para konsultan tersebut bertemu dengan putri Yeltsin yang ikut bertanggungjawab dalam tim, Tattiana. Adegan demi adegan akan sering dipenuhi dengan bagaimana metode kampanye ala Amerika dihentakkan kepada Yeltsin melalui para pengawalnya, yang nota bene masih memegang teguh tata nilai ala Rusia yang kaku dan tidak begitu begitu mempedulikan audience, misalnya. <br /><br />21 Februari 1996, sekitar tiga bulan sebelum hari H pemilihan umum di Rusia, wajah Rusia telah mulai akrab dengan berbagai ikon globalisasi, seperti Coca Cola dan lainnya. Di bidang politik, tentu saja demokrasi sudah mulai bersemai kedalam tubuh masyarakat. Lalu, bagaimana demokrasi yang dibayangkan masyarakat Rusia bertemu dengan demokrasi dari wilayah yang sering menyebut dirinya kampiun demokrasi? <br /><br />Disinilah sisi menarik film tersebut. Secara telanjang, film ini menggambarkan pergulatan yang terjadi dalam tim kampanye kandidat presiden Rusia pada pemilu tahun 1996, Boris Yeltsin. Tattiana, putri Yeltsin yang memegang peranan penting dalam tim kampanye, berhadapan dengan George, Dick dan Joe, tiga konsultan kampanye yang telah malang melintang di negerinya, Amerika. <br /><br />Pergulatan tersebut mulai terlihat ketika, tiga konsultan tersebut mendesak Tattiana agar mempertemukan mereka dengan Yeltsin. Dalam benak Joe dkk., tidak klop jika dirinya sebagai tim kampanye yang disewa dari Amerika tidak bisa bertatap muka langsung dengan orang yang akan diusungnya. Permintaan ditampik Tattiana, sambil menjelaskan bahwa dirinyalah yang akan menyampaikan masukan kepada ayahnya, bukan Joe dan kawan-kawannya. <br /><br />Yang tidak boleh terlewatkan adalah bagaimana media, terutama televisi, mempertontonkan jajak pendapat antara Yeltsin yang dianggap representasi demokrasi, berhadapan dengan Zyuganov, representasi Komunis. Pencitraan media ini juga dengan cerdik terus dipantau Joe dkk. Suatu pekerjaan yang pada awalnya diabaikan Tattiana dan timnya. Lewat analisa yang jitu, Joe dkk berhasil mendongkrak perolehan Yeltsin dalam jajak pendapat di televisi Rusia. Tentu saja, masukan dari Joe dkk tidak dengan mulus diterima Tattiana. Ini terlihat ketika usulan agar Yeltsin mau berdansa, tersenyum, menggendong anak kecil, bahkan menyerang calon presiden yang menjadi lawannya dalam pemilu, dianggap tidak sesuai dengan budaya politik Rusia dan sangat berbau demokrasi Amerika. Namun demikian, perdebatan pun berujung ketika Yeltsin akhirnya mau menjalankan dan terbukti melambungkan suaranya dalam jajak pendapat di tv. Buktinya, dari 6% untuk Yeltsin dan 30% untuk Zyuganov, pada waktu pemilu kurang sekitar 4 bulan, hingga mencapai 20% bagi Yeltsin berbanding 22% untuk Zyugabov ketika hari H pemilu tinggal 8 hari lagi.<br /><br />Sisi lain yang menarik adalah bagaimana tim kampanye bekerja dan menemui masyarakat kelas bawah untuk lebih mendekatkan calon kepada warga. Dari sini terlihat betapa tim kecil, yang dikomandoi Vasso, bergerak ke akar rumput menelusuri dan memetakan persoalan masyarakat. Ini terlihat ketika tim kecil datang ke masyarakat petani. Dalam forum kecil tersebut terungkap betapa kelompok petani, misalnya, tidak begitu peduli dengan tanah, tapi yang mereka inginkan adalah ketenangan, dan munucul juga pertanyaan menarik dari salah seorang petani, “kami takut jika komunis menang, akan ada perang sipil antara yang kaya dan yang miskin.” Dan di forum kecil seperti itulah, upaya mempopulerkan calon lebih terasa, dan akhirnya mengantarkan Boris Yeltsin ke tampuk kekuasaan Rusia dengan 35,2 %. <br />Rusia dan Pemilihan Presiden 1996<br /><br />Pemilu merupakan instalasi yang cukup penting bagi demokrasi. Robert A. Dahl (2001:132), mendedahkan, jika kita menginginkan persamaan politik, maka setiap warga negara harus memiliki sebuah kesempatan yang sama dan efektif dalam memilih, dan semua suara harus dihitung sama. Jika persamaan dalam memberikan suara dilaksanakan, jelaslah pemilu harus bebas dan adil. Bebas, artinya warga negara dapat pergi ke tempat pemungutan tanpa rasa takut, dan adil artinya, semua pemilih harus dianggap sama. Inilah dua prinsip utama dalam pelaksanaan pemilu.<br /><br />Sutoro Eko (2004:31-32) menjelaskan, pemilu bukanlah persitiwa politik luar biasa, apalagi di negara yang menyandang gelar advanced democracy. Dalam teori demokrasi minimalis (Schumpeterian), pemilu merupakan arena yang mewadahi kompetisi (kontestasi) untuk meraih kekuasaan; partisipasi politik rakyat serta liberalisasi hak-hak sipil dan politik warga. Namun demikian, ia sering menjadi hal yang luar biasa jika terjadi di negara yang baru saja keluar dari fase otoriter dan masih dalam tahap transisi, seperti Rusia 1996. Dalam konteks pemilihan Presiden Rusia 1996, ada beberapa hal yang menarik dicermati, terutama keterlibatan tiga orang Amerika yang menjadi konsultan kampanye Boris Yeltsin. Dikatakan menarik, karena terjadi internalisasi trik berkampanye ala Amerika, disebut juga dengan phony American tricks, dalam prilaku berkampanye Boris Yeltsin utamanya. Ketika Yeltsin berdansa, mengunjungi pemuka agama, menggendong anak kecil, dan mengumbar senyum ke publik, sangat terasa sekali gaya Amerikanya. Apalagi televisi menyiarkannya secara gencar. Bisa disebut, inilah gaya demokrasi, terutama dalam kampanye dan komunikasi politik, ala Amerika yang mengedepankan keterbukaan, memaksimalkan kompetisi dan memanfaatkan media. <br /><br />Pemilihan Presiden Rusia tahun 1996, dalam pandangan Larry Diamond (2003:38-39), dikatakan relatif berhasil dan menjadi sebuah langkah penting ke arah pelembagaan persaingan electoral. Namun demikian, hal itu juga bisa dipandang lebih sebagai suatu cara untuk menghindari bencana politik ketimbang sebagai sebuah capaian penting pada kebebasan politik.<br /><br />Demokrasi dan Rekayasa Pemilu <br /><br />Kaitan antara pemilu dan demokrasi sangatlah erat. Munafrizal Manan (2005: 111) mengatakan, pemilu merupakan sarana yang penting bagi terselenggaranya sistem politik yang demokratis. Selain itu, pemilu memberikan landasan legitimasi yang kukuh bagi setiap pemerintahan. Lalu, bagaimana jika pemilu dilakukan secara bebas, adil dan jujur, tapi didalamnya ada suatu permainan, rekayasa, bahkan manipulasi pelaksanaan pemilu demi kemenangan suatu calon? <br /><br />Rekayasa pemilu, jika mengarah pada kecurangan, manipulasi, diskriminasi, dan bahkan initimidasi, maka ini menjadi kecelakaan bagi demokrasi. Munafrizal (2005: 112) menegaskan, kondisi ini bisa terjadi karena pemilu hanya dijadikan sebagai formalitas demokrasi untuk memperkokoh kekuasaan rezim yang berkuasa.<br /><br />Sebaliknya, rekayasa pemilu dengan pendekatan rasional dan partisipastoris, seperti penyelenggaraan jajak pendapat yang jujur dan proporsional, mendatangi langsung ke warga kelas bawah untuk mencari akar permasalahan yang duhadapi, lalu dirumuskan menjadi isu dan program seorang calon, maka hal ini berkontribusi positif terhadap perkembangan demokrasi. Hal ini justru membuat demokrasi lebih bermakna.<br /><br />Bagi saya, pernyataan Yeltsin, melalui Tattiana, jika dirinya tidak dapat memenangkan pemilu presiden, maka demokrasi akan terancam keberlanjutannya, menyiratkan adanya keinginan untuk melanggengkan kekuasaan. Ini pula yang menjadi salah satu alasan kenapa tiga orang konsultan politik Amerika didatangkan. <br /><br />Apa yang dilakukan Yeltsin dan tim kampanyenya, bagi penulis, menjadi kontribusi positif bagi demokrasi di Rusia. Rekayasa yang dilakukan, pada akhirnya memunculkan dialektika antara demokrasi ala Amerika dan demokrasi yang dibayangkan orang Rusia. Hal ini bergitu terlihat ketika, Joe dkk., “mengajarkan” bagaimana harus memanfaatkan media sebagai komunikasi politik, mendatangi warga yang masih mengambang, mendekati masyarakat dengan apa yang diinginkan mereka, serta mengajak bicara dengan warga tidak dengan perut kosong. Yang terakhir ini tentu menyiratkan adanya kampanye yang tidak mengabaikan realitas masyarakat Rusia yang masih dilanda kemiskinan.<br /><br /><br />Masa Depan Demokrasi di Rusia <br /><br />Sebagai negara yang baru saja lepas dari komunisme, wacana demokrasi dan keberanjutannya menjadi sangat penting. Menurut Larry Diamond (2003:11), jika memakai definisi minimalis yang hanya menekankan pada aspek elektoral, maka Rusia tergolong negara demokrasi. Tapi menurut konseptualisasi yang lebih ketat, Rusia mungkin tidak masuk dalam kategori demokrasi liberal. Lalu, apakah demokrasi di Rusia puas dengan hanya status demokrasi minimalisnya dan hanya demokrasi prosedural? Tentu tidak. <br /><br />Jika demokrasi prosedural saja dianggap cukup, maka akan tercapai titik jenuh ketika persoalan yang terjadi di masyarakat tidak segera terselesaikan. Demokrasi prosedural harus diimbangi pula dengan demokrasi substansif yang harus dipraktikkan dalam kehidupan keseharian. Suatu masyarakat tidak noleh berpuas diri hanya karena bisa menyelenggarakan suatu pemilu dengan baik.<br /><br />Dalam semesta pembicaraan demokrasi ini, saya lebih apresiatif terhadap demokrasi komunitarian. Sutoro Eko (2004:57-58) menjelaskan, prinsip dasar demokrasi ini adalah bahwa masyarakat berskala besar dan pemerintah hidup lebih lama daripada banyak utilitas mereka dan mereka perlu diganti oleh unit pemerintahan yang lebih kecil. Basis yang tepat bagi pemeriintahan adalah komunitas. Dalam pandangan ini, otonomi perseorangan menyatakan penghormatan yang substansial terhadap otonomi individu lain dan juga memelihara proses aktualisasi diri. Tindakan yang mungkin membahayakan terhadap kesejahteraan bersama tidak dapat diterima, sekalipun mereka memenuhi keinginan individualistik beberapa anggota masyarakat. <br /><br />Dengan demokrasi komunitarian ini, penulis yakin bahwa masyarakat Rusia tidak akan canggung dan tidak akan tergagap menerima prinsip demokrasi. Jika demokrasi liberal gaya Amerika yang ditawarkan, maka ada rasa kebersamaan yang hilang. Memang, hak-hak individu lebih terakomodir, tapi kehidupan berkomunitas yang sekian tahun terbangun seolah kurang menemukan ruang yang memadai. <br /><br />***<br /><br />Demikianlah kisah pergulatan demokrasi masyarakat Rusia yang bersua dengan gaya demokrasi Amerika. Ada pertentangan tata nilai dan budaya, sampai akhirnya, Rusia menerima model demokrasi Amerika dan menjalankan keterbukaan politik.M. Zainal Anwarhttp://www.blogger.com/profile/11049042467723348903noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7904858079911809246.post-20152943665366012162008-10-15T16:29:00.001+10:302008-10-24T14:26:02.247+10:30Siang yang begitu panjang.....Ketika masih duduk di bangku tsanawiyah dulu, tepatnya di madrasah Qudsiyyah-Kudus- sekira 16 tahun yang lalu, saya pernah mendapat pelajaran ilmu Falak atau ilmu Hisab. Dalam ilmu ini, saya tidak hanya belajar hitung menghitung waktu untuk menentukan awal waktu sholat maupun menghitung awal bulan hijriyah dengan beragam rumus dari kitab badi’at al-mitsal, tetapi juga mendapat teori untuk menghitung lama-pendeknya suatu siang atau malam dalam suatu hari.<br /><br />Pernah suatu waktu, saya dan teman-teman diminta pak guru untuk menghitung lama-pendeknya waktu siang di suatu kota di Rusia. Yang terjadi saat itu adalah waktu siang tidak lebih hanya sekitar 6-7 jam. Kami pun mencoba membayangkan bagaimana jika harus berpuasa Ramadhan dengan kondisi dimana siang lebih panjang daripada malam. Karena hanya sekedar tugas dari pak guru, saya yang saat itu masih berumur belasan tahun dan tidak pernah bersentuhan langsung dengan kondisi dimana siang atau malam menjadi lebih panjang, tidak memiliki refleksi apapun terhadapnya. Apalagi implikasinya pada kehidupan yang lebih luas. Tentu, saya dan teman-teman hanya bisa berkata; ini pak hasil tugasnya. Ternyata siangnya lebih panjang daripada malamnya. Pak guru sendiri tidak banyak memberi penjelasan apa yang terjadi dengan suatu daerah dimana siang lebih panjang dan malam begitu pendek.<br />Tapi, 16 tahun kemudian, ketika saya sedang tinggal di Adelaide, ibukota negara bagian South Australia, mengalami kondisi dimana siang menjadi lebih panjang daripada malamya. Ya, itu terjadi pada hari Ahad, 5 Oktober 2008 lalu. Orang menyebutnya sebagai Daylight saving time. Sebagai pendatang baru di negerinya Kevin Rudd, tiba-tiba saja ada pemberitahuan bahwa putaran jam harus berputar lebih cepat 1 jam. Seumur-umur, baru kali ini ada perintah untuh mempercepat putaran jarum hingga 1 jam. Artinya, jam kita yang awalnya jam 12.00, langsung diminta berputar pada arah jam 1.<br /><br />Si Raymond el Halou, kakek asal Lebanon yang tinggal serumah, bahkan sempat kelabakan ketika mau pergi ke gereja. Pasalnya, dia mengira masih jam 08.30 pagi, padahal sebetulnya sudah jam 09.30, waktu dimana dia harus bersiap pergi ke gereja. Untungnya, temannya sesama jamaah gereja segera datang dan membangunkannya. Ketika dia pulang dari gereja, dia bercerita kalau tidak hanya dia yang kelabakan dengan perubahan jam tersebut. Banyak jamaah gereja yang datangnya terlambat gara-gara daylight saving time ini. “Pemerintah Australia telah mengumumkan soal daylight saving time ini kepada warga baik lewat radio atau televisi,” kata Raymond kepadaku. Namanya orang, tetap saja ada lupanya. Al-insan mahal al-qotho' wa an-nisyan, kata orang arab.<br /><br />Memang. Daylight saving time ini membuat waktu siang lebih lama daripada malam hari. Sebagai gambaran, waktu sholat maghrib saja baru tiba pukul 07.30 PM. Artinya, walau jam 7 malam, tapi matahari masih bersinar dengan santainya, dan baru tenggelam sekira setengah jam kemudian. Dan paginya, matahari ini akan muncul lebih awal.<br /><br />Adanya Daylight saving time ini secara tidak langsung menjadi berkah bagi mereka yang bekerja di kebun, misalnya. Tak pelak, orang yang bekerja di kebun strawbery misalnya, dapat bekerja sejak jam 6 AM hingga 7 PM. 13 jam! Ya, karena pada jam 7 PM, matahari masih menyinari bumi. Karena itu, buah strawbery masih bisa dipetik.<br /><br />Akan tetapi, hal ini tidak mengubah jam kerja di sektor formal. Walaupun pada jam 7 PM, matahari masih bersinar, warga tidak akan menambah jam kerja hingga matahari terbenam. Hal ini karena mereka mematok jam kerja rata-rata pada pukul 7/8 AM hingga 4/5 PM.<br />Ya, jika kembali Indonesia kelak, tentu saya bisa bercerita tentang negeri dimana siang bisa begitu panjang dan malam begitu pendek. Jika 16 tahun lalu hal ini baru sekedar hitungan teori dalam secarik kertas, saat ini saya mengalaminya sendiri.....M. Zainal Anwarhttp://www.blogger.com/profile/11049042467723348903noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7904858079911809246.post-27582447723428093662008-10-07T11:32:00.006+10:302008-10-24T14:26:54.559+10:30Liburan "Kupatan"<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh1iSyjF1FJMwL2bsdHiDKYd5GpYPlI4V_asmYTc4UGh9-BTlezBBYPnnXk1RUt7dir2sJuPs20nPrzTzl6S8cqEr9r4-BUl1KBgmcxU7HSt1COZ-lL2m2PVE4nZg26ny7ccQxZEzhFfotD/s1600-h/IMG_3418.JPG"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5256150067425579394" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; CURSOR: hand" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh1iSyjF1FJMwL2bsdHiDKYd5GpYPlI4V_asmYTc4UGh9-BTlezBBYPnnXk1RUt7dir2sJuPs20nPrzTzl6S8cqEr9r4-BUl1KBgmcxU7HSt1COZ-lL2m2PVE4nZg26ny7ccQxZEzhFfotD/s200/IMG_3418.JPG" border="0" /></a> Di Kudus atau mungkin juga di daerah lain di Indonesia, kupatan sering identik dengan plesir. Bagi orang <a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhoGLUhea_TtTnDnyFpbWqNWTDGLr6u0_k8lV0Ie5BC4OlYnNJPjtQ34IR3u_YBhKGhGiHsftiodaiJ77CXV892VhZISDGDszGW5iKqIMPCtfgSunG1k1CTCPFKmfnpQfx8q4JvdARvjL2y/s1600-h/IMG_3418.JPG"></a>jawa, kupatan adalah hari raya atau istilah jawanya <em>bodo kupat. Bodo Kupat </em>ini jatuh tujuh hari setelah hari raya idul Fitri. Mungkin <em>bodo kupat </em>ini diperuntukkan bagi mereka yang berpuasa enam hari berturut-turut pasca 1 Syawal. Yang pasti, kupatan selalu identik dengan berlibur ke tempat wisata.<br /><br />Mungkin karena terdorong faktor itu, saya beserta istri dan beberapa teman pergi melancong ke beberapa tempat di Adelaide. Setelah berjalan ke luar kota sekitar 45 menit, akhirnya kami tiba di tempat tujuan pertama yakni Clel<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhvh-riPliKzEdyxMUgM7AhnyIXJJpOAJKYrqyL5xwyoE0DRVUcez9CDT_YHVqLZVBC7DsxjO7zbBPZGain28sutoD7naFac1jJUDkAy-7eNDSJUuv0-d1JJWPC1aPYejVsKjWjeTVhy-zO/s1600-h/IMG_3413.JPG"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5256150612756442482" style="FLOAT: right; MARGIN: 0px 0px 10px 10px; CURSOR: hand" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhvh-riPliKzEdyxMUgM7AhnyIXJJpOAJKYrqyL5xwyoE0DRVUcez9CDT_YHVqLZVBC7DsxjO7zbBPZGain28sutoD7naFac1jJUDkAy-7eNDSJUuv0-d1JJWPC1aPYejVsKjWjeTVhy-zO/s320/IMG_3413.JPG" border="0" /></a>and Wildlife Park. Disini, akhirnya resmilah saya berada di Aussie. Lho kok??? Ya, kalau belum ketemu kangguru dan saudaranya koala, katanya belum sah menginjakkan kaki di Aussie. Ini mungkin seperti pergi ke Malioboro jika datang ke Yogyakarta. Setelah itu, perjalanan berlanjut ke mount Lofty. Di Mt. Lofty ini, kita bisa melihat kota Adelaide dari atas bukit. Hanya itu yang bisa dilihat, karena sampai di Mt. Lofty ini sudah terlalu sore yakni jam 5 sehingga sudah hampir ditutup.<br />Perjalanan pun berlanjut ke Hahndorf, sebuah kota kecil, semacam kecamatan kalau di Indonesia. Hahndorf merupakan daerah di Adelaide yang pertama kali disambangi oleh keluarga besar Prussian Lutheran pada 1839.<br /><br />Nama Hahndorf sendiri berasal dari Captain Dirk Hahn yang tiba di Adelaide pada 1838 bersama para imigran lain dari Eastern Provinces of Prussia. Daerah ini sendiri sangat bernuansa jerman karena memang pada awalnya banyak didiami para imigran asal Jerman. Karena kami pergi pada hari sabtu dan sudah sore hari, banyak toko yang sudah tutup.<br />Walhasil, liburan dalam suasana kupatan pun tetap meriah...<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgrpT0wwwm8wyfMj0bzspRGA7xa27Jxq6RuWOrKbJmOVlh-7RmIDyh6YsGpdNSDVlp09emCS8MktfQYRKXYJJ3YxYuCqNZbTJeFw3eGbfwMIsCbpMGsp2t6Omb-LWgQMIbr7TJHvDcUbbyc/s1600-h/IMG_3448.JPG"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5256151267865820050" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; CURSOR: hand" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgrpT0wwwm8wyfMj0bzspRGA7xa27Jxq6RuWOrKbJmOVlh-7RmIDyh6YsGpdNSDVlp09emCS8MktfQYRKXYJJ3YxYuCqNZbTJeFw3eGbfwMIsCbpMGsp2t6Omb-LWgQMIbr7TJHvDcUbbyc/s320/IMG_3448.JPG" border="0" /></a>M. Zainal Anwarhttp://www.blogger.com/profile/11049042467723348903noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7904858079911809246.post-88867670950509192022008-10-07T10:53:00.004+10:302008-10-24T14:27:41.300+10:30Lebaran di OZ<div><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhr_sGlXOohCgnYh8Z7hvbK_4kVdEOaryjJCOoXNCwbbD5mHp3HC6lmO9MlT0aSBlmcpVIL9vUgHPYfVpi74GPgC3J86ilwFOM1saLhZBYtaR2ahyVhlGhLZR_Y3ZVLfufBTpD7-egpTP5F/s1600-h/IMG_3371.JPG"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5256145084335381426" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; CURSOR: hand" height="157" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhr_sGlXOohCgnYh8Z7hvbK_4kVdEOaryjJCOoXNCwbbD5mHp3HC6lmO9MlT0aSBlmcpVIL9vUgHPYfVpi74GPgC3J86ilwFOM1saLhZBYtaR2ahyVhlGhLZR_Y3ZVLfufBTpD7-egpTP5F/s320/IMG_3371.JPG" width="282" border="0" /></a>Setelah melewati Ramadhan Karim, istilah Raymond El-Halou si kakek di rumahku, <a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi75o9H78nsneqH3HvSOcFk2PighkpT1-a6mYoKUrPZgTdlIa_yWwWsP0Qq9_7eYQwY9B01tNMOgUBB4tBu67GOcm30iWQGOX22UdNwiDz4PakznARu7eKQO5pPIia0LttJ9DczfEF92F2K/s1600-h/IMG_3372.JPG"></a>akhirnya datang juga idul fitri, 1 Syawal 1429 H yang bertepatan dengan hari rabu, 1 Oktober 2008. Di Australia, barang tentu yang namanya lebaran tidak sesemarak di Kudus atau Banyumas yang terletak ribuan mil di Indonesia. Akan tetapi, biar tetap ada suasana grengnya, saya dan beberapa teman dari Indo, berkumpul pada malam hari untuk bertakbiran bersama. Tak ada bunyi bedug yang bertalu-talu atau pakai pengeras, cukup di dalam rumah saja. Tak berapa lama, memang, hanya sekitar 2 jam saja. Paling tidak, hal itu sudah menjadi semacam obat rindu berlebaran gaya di rumah.<br /></div><div>Pagi harinya, saya dan istri berangkat ke kampus untuk mengikuti sholat Iid. Mnurut shohibul hikayah, Sholat Iid di kampus Flinders ini baru pertama kali diadakan sepanjang sejarah penyelenggaraan sholat Idul Fitri. Biasanya, sholat Iid hanya diadakan di Masjid yang<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgqklIJC7zL45DSTzCGTZtk01wj6WaZS6vnTCvuSNr0_5DNyDfvWX5l2GiQ-Na7F4yeEB7AICmrX0c97ZF1b_ofvoOdPjuP9wFZJqraTPl0E3G_fpdCPAwWUS2pysqke684IMC8ZVF3DwWs/s1600-h/IMG_3380.JPG"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5256144543681621682" style="FLOAT: right; MARGIN: 0px 0px 10px 10px; CURSOR: hand" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgqklIJC7zL45DSTzCGTZtk01wj6WaZS6vnTCvuSNr0_5DNyDfvWX5l2GiQ-Na7F4yeEB7AICmrX0c97ZF1b_ofvoOdPjuP9wFZJqraTPl0E3G_fpdCPAwWUS2pysqke684IMC8ZVF3DwWs/s320/IMG_3380.JPG" border="0" /></a> letaknya di tengah kota. Di pagi yang diselingi rintik hujan itu, sekitar 200an jamaah, dari orang tua hingga anak kecil, menjalankan ibadah yang hanya dilakukan setahun sekali itu. Event organizernya sendiri orang-orang indonesia yang tergabung dalam MIIAS atau masyarakat islam indonesia Australia Selatan.<br /></div><div>Setelah itu, suguhan makanan, minuman dan jajan ala Indonesia telah tersedia. Suguhan ini dibawa oleh masing-masing jamaah. tak pelak, aneka makanan dari seantero nusantara akhirnya tersedia. Panitia sendiri menyediakan BBQ party. Walau jauh dari keluarga, pada akhirnya saya dan istri mendapat keluarga baru di Aussie. Dan ketupat opor yang awalnya hanya jauh di negeri asal juga akhirnya bisa disantap....</div>M. Zainal Anwarhttp://www.blogger.com/profile/11049042467723348903noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7904858079911809246.post-45673655011799819982008-09-25T13:32:00.005+09:302008-09-25T14:15:24.533+09:30Jelajah Adelaide<div><br /><br /><div><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEikxsX75tjnBEhMufxiA-DvzAzMT6CIjJVtvTPvnV-V11hUpseFxyI8IkrMIBz4Clo_69RV0ZR5jZvZZFDZACh1vhflfGA-wm4KBr-xNliXFrfAk1EYR7LW1l_jVzhC4FCYdCp5UyZh3ojv/s1600-h/Picture(379).jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5249810432867079346" style="FLOAT: right; MARGIN: 0px 0px 10px 10px; CURSOR: hand" height="172" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEikxsX75tjnBEhMufxiA-DvzAzMT6CIjJVtvTPvnV-V11hUpseFxyI8IkrMIBz4Clo_69RV0ZR5jZvZZFDZACh1vhflfGA-wm4KBr-xNliXFrfAk1EYR7LW1l_jVzhC4FCYdCp5UyZh3ojv/s320/Picture(379).jpg" width="228" border="0" /></a><br /><br /><div>Tak terasa sudah hampir 1 bulan di Adelaide, ibukota negara bagian South Australia. sejak mendarat pada hari kamis (28 Agustus) di Sydney lalu terbang ke Adelaide, tak terbayangkan jika saya sudah berkeliling ke beberapa wilayah terpencil di kota yang berpenduduk sekitar 1,2 juta. paling tidak, sesuai peta yang saya lihat, wilayah Adelaide bagian selatan dan utara sudah saya singgahi. </div><br /><br /><br /><div></div><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh0pJyUuC9z0gFL-xWlBCfOeNEkKjOWnOU6CY6uGUVz1txAKFc04aouLm_cdnRSNMBn-VoTj_Np4-wu39MxBl3-epSxpfXXQvrEpmnK5vmpoRZp1zawmrcDQU0gAX0sW6qsVCPZg8SfaJOz/s1600-h/Picture(382).jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5249810999631771154" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; CURSOR: hand" height="172" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh0pJyUuC9z0gFL-xWlBCfOeNEkKjOWnOU6CY6uGUVz1txAKFc04aouLm_cdnRSNMBn-VoTj_Np4-wu39MxBl3-epSxpfXXQvrEpmnK5vmpoRZp1zawmrcDQU0gAX0sW6qsVCPZg8SfaJOz/s320/Picture(382).jpg" width="239" border="0" /></a><br /><div>Tak heran jika nama-nama kayak Lobethal, Birdwood, Pooraka, Hanndroof atau One Tree Hill tiba-tiba menjadi akrab di telinga. Nama-nama seperti Kaliurang, jalan Magelang atau Denggung bahkan Ringinputih seperti lenyap dari memori. Dengan rencana 1,8 tahun tinggal di Adelaide, saya memang harus belajar mengenal Adelaide. Salah satu caranya dengan jalan-jalan tentunya. Sembari melihat keindahan kota Adelaide, baik wilayah kota maupun desanya. Yang saya cermati, baik wilayah desa maupun kotanya tidak terlalu jauh berbeda mencolok. </div><br /><br /><div></div><br /><div>Ya, kesempatan ini tak saya sia-siakan untuk melihat dari dekat daerah "pedalaman" dari Adelaide. Hamparan padang rumput yang begitu luas banyak dimanfaatkan penduduk untuk beternak sapi atau biri-biri dan sebangsanya. Selain itu, jarak antara satu penduduk dan penduduk yang lain juga tidak terlalu padat. Hal ini memungkinkan tiap orang untuk <a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHi-DwSaNNe9Gz9w_17XKHMGXekXT1uN2ZcCl5c3k3EV3EalXbTnoRRk2XdTC8qFNE50waTvNFdWo9FvEN0K4J55T1HQzYzIN4CEw192t0jteWNtzI-e4wAsSYvagcWrNci6c9nvCY2cSz/s1600-h/Picture(403).jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5249815060855695442" style="FLOAT: right; MARGIN: 0px 0px 10px 10px; WIDTH: 218px; CURSOR: hand; HEIGHT: 165px" height="137" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHi-DwSaNNe9Gz9w_17XKHMGXekXT1uN2ZcCl5c3k3EV3EalXbTnoRRk2XdTC8qFNE50waTvNFdWo9FvEN0K4J55T1HQzYzIN4CEw192t0jteWNtzI-e4wAsSYvagcWrNci6c9nvCY2cSz/s320/Picture(403).jpg" width="212" border="0" /></a>memiliki lahan yang luas. Tidak heran jika satu orang penduduk hampir rata-rata memiliki rumah yang rada besar, lalu lahan untuk beternak dan terkadang juga kebun anggur atau strawberi. Tapi, untuk saat sekarang memang baru mau masuk musim semi, jadi kebun anggur, apel atau strawberi belum berbuah. Untuk musim dingin, antara Juni hingga September, biasanya para penduduk Adelaide memanfaatkannya untuk menanam pohon. Ya, semacam penghijauan atas lahan-lahan yang terlihat gundul. Oh ya, gundulnya hutan di Adelaide ini sebetulnya lebih banyak karena faktor alam. Artinya, banyak pohon yang tumbang karena terkena hembusan angin yang gede dan cuaca yang dingin banget. Jadi, tidak melulu karena ditebangi oleh manusia. Kalau ingat tebang menebang pohon di hutan, jadi ingat negeri sendiri, he he he...</div></div></div>M. Zainal Anwarhttp://www.blogger.com/profile/11049042467723348903noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7904858079911809246.post-51907461046664445762008-09-18T11:13:00.002+09:302008-09-18T11:18:34.320+09:30Ramadhan Kaum MinoritasTerhitung sudah 12 hari saya menjalani puasa di Australia. Negeri yang sering dijuluki negeri kangguru ini tak pelak memberi nuansa dan pengalaman berbeda dalam menjalani ibadah puasa. Hal ini tak bisa dihindari mengingat jumlah umat Islam, terutama di Adelaide-South Australia di mana saya tinggal, terhitung minoritas. Hingga saya menulis, saya masih belum bisa memperoleh informasi jumlah umat Islam di Adelaide maupun di Australia secara keseluruhan. Sebagai gambaran, pelaksanaan sholat Jumat sejauh ini baru saya temukan hanya di sebuah common room di kompleks Flinders University. Common room merupakan ruang yang disediakan pihak kampus sebagai tempat pelaksanaan ibadah semua agama. Jamaah sholat jumat sebagian besar diisi orang asal Indonesia.<br /><br />Di negeri macam Indonesia, di mana penduduknya mayoritas beragama Islam, menjalankan puasa Ramadhan seperti sebuah hajatan besar. Hampir di tiap sudut kota kita bisa menemukan ucapan selamat menjalankan ibadah puasa. Tak hanya itu, hampir semua media, baik cetak maupun televisi, mengubah format acaranya dengan liputan atau tayangan bernuansa religi. Belum lagi tiap sore di sudut jalan atau perempatan, kita hampir bisa menemukan penjaja makanan kecil atau kolak untuk sekedar menjadi makanan pembuka saat maghrib tiba. Pada waktu sahur pun, suasana lebih ramai ketika sekelompok anak muda berkeliling menabuh kentongan untuk membangunkan mereka yang hendak makan sahur.<br /><br />Tidak sebagaimana di Indonesia, menjalankan ibadah puasa di negeri yang bisa dikatakan menempatkan agama atau keyakinan seseorang sebagai sesuatu yang privat, menjadi begitu individual. Individualitas dalam beragama bisa dimaknai sebagai upaya menjalankan ibadah dengan lebih mengandalkan kemandirian. Waktu untuk berbuka atau sahur tidak bisa lagi mengandalkan suara adzan, tabuhan bedug atau bunyi sirine dari masjid, tetapi harus melihat jam yang ada di rumah masing-masing. Tidak ada pula penjual kolak di perempatan jalan atau orang berkumpul di pusat kota untuk menanti waktu berbuka. Istilahnya ngabuburit. Di Australia, orang menanti berbuka puasa di rumah masing-masing. Kalaupun ada buka puasa bersama, cenderung dilakukan di kampus dan dalam jumlah yang terbatas.<br />***<br />Di Indonesia, ibadah yang dilakukan, baik puasa Ramadhan atau sholat, seringkali mengandalkan institusi masjid untuk menerima adanya penanda waktu sholat atau waktu berbuka. Hal ini tentu tidak bisa lagi diandalkan di negeri macam Australia. Waktu untuk sholat dan ibadah yang lainnya lebih banyak mengandalkan jadwal sholat yang bisa diambil dari situs islamicfinder.org. Dari situs inilah, saya menemukan penanda waktu sholat, berbuka hingga sahur.<br /><br />Akan tetapi, justru disinilah makna puasa, bahkan mungkin ibadah-ibadah lainnya, menjadi lebih terlihat. Ketika kita menjalankan ibadah sebagai umat mayoritas, dengan atau tanpa sengaja, kita seolah meminta pemakluman orang lain yang tidak seagama untuk menghormati apa yang sedang kita jalankan. Terkadang, upaya pemakluman ini dilakukan dengan cara kekerasan. Tentu kita ingat adanya sekelompok orang yang menyerang tempat hiburan dan meminta pemiliknya untuk menutup lokasi usaha tersebut selama bulan Ramadhan. Alasannya, untuk menghormati orang yang menjalankan ibadah puasa. Hal ini menyiratkan adanya “pemaksaan” bahwa orang lain harus memahami ibadah yang kita jalankan.<br /><br />Dalam konteks tersebut, rasa hormat yang dilakukan orang lain yang tidak seagama kepada umat Islam yang sedang menjalankan ibadah puasa, misalnya, bukan lagi dilandasi pada penghormatan atas ibadah yang kita jalankan, akan tetapi karena rasa takut sebagai minoritas yang harus menghormati apa yang sedang dilakukan oleh kaum mayoritas.<br /><br />Kultur mayoritas sering membuat orang menjadi egois dan kurang mempedulikan apalagi menghormati keyakinan orang yang berbeda. Memang tidak semua orang yang merasa diri sebagai mayoritas menjadi mau menang sendiri. Harus diakui pula, ada orang atau komunitas yang berada dalam payung mayoritas tapi tetap bisa menghormati bahkan melindungi kelompok lain yang minoritas. Akan tetapi pada umumnya, budaya kelompok mayoritas sering kali merasa harus menguasi dan memenangi segalanya.<br /><br />Saya lalu teringat sebuah peristiwa beberapa tahun silam ketika masih menimba ilmu di Yogyakarta. Waktu itu, saya mengontrak rumah dengan beberapa teman yang sama-sama kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri di Yogyakarta. Mereka ada yang berasal dari Banyuwangi, Semarang dan ada pula yang dari Sunda. Nah, waktu bulan puasa, salah seorang teman saya yang berasal dari Sunda menyimpan setumpukan pamflet di kamarnya. Tanpa sengaja, ketika saya dan teman-teman yang lain berada di kamarnya dan membaca tulisan dalam pamflet tersebut, saya cukup terperangah. Tulisannya kurang lebih; Hormati Bulan Puasa. Dilarang Berjualan Makanan dan Minuman pada Waktu Siang Hari.<br /><br />Tidak ada yang salah dalam pamflet tersebut. Orang sah-sah saja membuat himbauan atau nasehat. Tetapi, dalam ruang publik, orang seharusnya menghormati orang lain yang tidak seagama yang notabene tidak berpuasa dalam bulan Ramadhan. Secara otomatis, mereka pun butuh makan dan minum dan kadang kala hal itu bisa terpenuhi dengan membeli di warung makan, misalnya.<br /><br />Sebagai minoritas yang sedang menjalankan ibadah puasa di negeri yang mayoritas tidak beragama Islam, ada pengalaman, pelajaran dan tantangan. Saya menjadi terbiasa bersanding dengan orang yang makan dan minum di tempat umum. Ketika sedang berada di halte dan menunggu bis, misalnya, walaupun sedang berpuasa dan kebetulan cuaca di Adelaide mulai masuk musim panas, saya tidak merasa dilecehkan ketika ada orang makan dan minum.<br /><br />Pun, keberagamaan saya tidak berkurang nilainya ketika orang dengan seenaknya makan dan minum ketika saya berpuasa. Boleh jadi karena mereka tidak tahu bahwa saya sedang berpuasa di mana saya tidak boleh makan dan minum pada waktu siang hari hingga saat maghrib tiba. Saya pun teringat dengan ajaran agama yang intinya mengajarkan pada kita bahwa janganlah memarahi atau mengatakan sesuatu yang jelek pada orang lain karena mereka tidak tahu apa yang kita lakukan. Niscaya mereka akan melakukan hal yang lebih buruk.<br /><br />Mengingat ajaran ini, saya tidak perlu repot-repot pasang pamflet untuk melarang orang berjualan makanan dan minuman pada waktu bulan Ramadhan atau beramai-ramai mendatangi klub hiburan dan meminta mereka untuk menutupnya selama bulan Ramadhan. Saya yakin, penghormatan mereka atas kita tidak akan muncul dengan sepenuh hati.<br /><br />bisa dilihat di <a href="http://lkis.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=36&Itemid=3">http://lkis.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=36&Itemid=3</a>M. Zainal Anwarhttp://www.blogger.com/profile/11049042467723348903noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7904858079911809246.post-64680538010971418722008-02-19T20:33:00.000+10:302008-02-19T20:36:44.322+10:30Lobang Hitam Dunia Pendidikan<span style="font-size:85%;">Mahasiswa yang sedang menyelesaikan skripsi, lazimnya adalah mereka yang telah mengenyam bangku kuliah, paling tidak, dalam kurun 4 tahun atau 8 semester. Dalam rentang waktu tersebut, mahasiswa diidealkan telah memperoleh beragam teori dan metodologi penelitian agar mampu menyelesaikan tugas akhir berupa penulisan skripsi.<br />Tapi, apa lacur. Idealitas yang demikian tak selamanya terwujud sebagaimana diharapkan para pengajarnya. Seringkali, mahasiswa, dengan beragam alasan, baru bisa menyelesaikan studinya dalam jangka waktu 5-7 tahun. Artinya, ia membutuhkan masa yang tak pendek untuk mengunyah teori yang didapatnya.<br />Alasan yang mengemuka, biasanya, karena sibuk dengan aktifitas di luar sehingga banyak mata kuliah yang harus diulang sebagaimana yang dialami oleh aktifis kampus atau pergerakan. Selain itu, mahasiswa sering kali berkilah bahwa dirinya tidak hanya kuliah saja tapi juga bekerja hingga terkadang harus mengambil cuti.<br /> Salahkah mereka? Tentu saja tidak. Semua itu adalah fenomena yang lazim ditemui di dunia perguruan tinggi kita. Namun demikian, dengan aturan yang mengharuskan seorang mahasiswa hanya mempunyai batas waktu sampai 14 semester atau 7 tahun membuat mereka dikejar-kejar pertanyaan yang seringkali datang dari orang tua, kapan mau lulus, nak? Jika demikian, maka hanya ada satu pilihan bagi mahasiswa, menyelesaikan skripsi atau tidak lulus sama sekali.<br />Fenomena biro jasa skripsi, sebagaimana diberitakan Suara Merdeka beberapa waktu lalu, menyuguhkan fakta betapa dunia pendidikan tinggi di Indonesia telah sebegitu mengenaskan. Karena ambisi ingin secepatnya lulus, acapkali seorang mahasiswa mengambil jalan pintas dan berpikir pendek, kenapa tidak memanfaatkan biro jasa skripsi saja, toh sulit dilacak.<br />Bagi penulis, jual-beli skripsi merupakan satu diantara beragam fakta tentang komersialisasi pendidikan di Indonesia. Tentu masyarakat pendidikan sepakat bahwa para pembuat skripsi yang sering bertopeng biro jasa skripsi hanya akan menciptakan sarjana karbitan dan output yang asal-asalan.<br />Selain itu, adanya mahasiswa yang ingin dibuatkan skripsi menunjukkan bahwa proses pendidikan yang berjalan di perguruan tinggi harus ditelaah ulang. Mengapa ia tidak mampu membentuk dan menanamkan nilai-nilai intelektual, seperti kejujuran dan tanggungjawab, pada pribadi mahasiswanya?<br />Proses pembelajaran di perguruan tinggi, seharusnya berjalan paralel dengan penanaman nilai-nilai intelektualitas. Biro jasa skripsi menunjukkan bahwa kedua hal itu berjalan tidak seiring. Proses pendidikan tetap berlangsung, tapi ia justru menindas dan jauh dari nilai-nilai intelektualitas yang jelas-jelas tidak mendapatkan tempat.<br />Skripsi, bagi mahasiswa, semestinya menjadi kebanggaan tersendiri. Ia tidak hanya menjadi tugas akhir dan jalan menuju gelar sarjana. Lebih dari itu, skripsi juga menjadi manifestasi intelektual yang bisa menjadi ukuran sejauhmana kapasitas intelektual seseorang.<br />Tak jarang, kita menemukan buku yang mulanya adalah skripsi. Dalam konteks ini, ada beberapa buku yang bisa ditunjukkan misalnya, H.M Misbach; Sosok dan Kontroversi Pemikirannya oleh Nor Hiqmah, mahasiswa pada Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta atau buku Film, Ideologi dan Militer; Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia yang ditulis Budi Irawanto, mahasiswa Fisipol UGM.<br />Adanya buku yang mulanya adalah skripsi, menyiratkan adanya pengakuan publik atas daya intelektual seseorang. Ini tenrtu dicapai dengan tidak mudah. Tapi, jika skripsi dibuatkan oleh orang lain, layakkah ia mendapat apresiasi dari masyarakat? tentu jawabannya tidak, sebaik apapun kualitas skripsi tersebut.<br /><br />Akibat Mcdonaldisasi Perguruan Tinggi?<br />Bagi penulis, munculnya cerita-cerita tentang “joki-joki” yang siap membuatkan skripsi seorang mahasiswa, mengingatkan kita akan fenomena Mcdonaldisasi dalam dunia pendidikan di perguruan tinggi.<br />Istilah Mcdonaldisasi ini diperkenalkan oleh Heru Nugroho (2002). Menurutnya, ada empat ciri Mcdonaldisasi yang melanda perguruan tinggi kita, dan tidak menutup kemungkinan bahwa hal ini telah menjangkiti institusi-institusi pendidikan di negeri kita. Pertama, kuantifikasi, yakni ketika proses dan cara evalusasi hasil pendidikan hanya dilihat dari aspek kuantitas saja. Kedua, efisiensi, yaitu program studi yang dinilai menghasilkan uang akan semakin didorong dan difasilitasi, sedangkan yang kurang menghasilkan uang akan ditutup. Ketiga, prinsip keterprediksian, artinya kurikulum pendidikan harus mengacu pada kebutuhan pasar tenga kerja. Di sini, asas pendidikan untuk kesejahteraan rakyat semakin terabaikan, sebagai gantinya pendidikan dilaksanakan untuk mendukung pasar atau kapitalisme. Dan Keempat, prinsip teknologisasi, yaitu praktik pendidikan akan terselenggara dan sukses jika menggunakan dan didukung oleh teknologi tinggi atau hi-tech.<br />Adanya Mcdonaldisasi pendidikan yang melanda perguruan tinggi kita, tentu berimbas pada karakter mahasiswa yang mementingkan asal lulus dan mengabaikan proses pendidikan dan nilai-nilai ilmiah yang seharusnya dijalankan di perguruan tinggi.<br />Menjamurnya institusi pendidikan tinggi yang hanya memenuhi target untuk memberikan gelar kepada mahasiswanya, entah untuk menaikkan gaji atau sekedar cepat lulus agar segera memperoleh kerja, membuat mahasiswa juga berlomba-lomba mempercepat penulisan skripsi.<br />Bagi mereka yang pandai, hal ini tentu bukan masalah serius. Sebaliknya, bagi mereka yang modal pengetahuan dan kapasitas intelektualnya pas-pasan, tentu akan menoleh ke biro jasa skripsi. Dengan uang yang secukupnya, pergi ke tukang pembuat skripsi tentu lebih mengenakkan. <br /><br />Lobang Hitam Dunia Pendidikan<br />Jasa penulisan skripsi, apapun alasannya, tentu tak bisa dibenarkan. Dalam konteks pemikiran Paulo Freire, ini bisa disebut sebagai penindasan mereka yang kuat terhadap mereka yang lemah. Penindasan ini terjadi atas kuasa pengetahuan seseorang secara tidak langsung.<br /> Bagi penulis, fakta-fakta pendidikan semacam ini layak disebut sebagai lobang hitam pendidikan. Sistem pendidikan perguruan tinggi, dengan kurikulum yang dibangga-banggakan itu, ternyata hanya menghasilkan lobang-lobang yang tidak disadari oleh pengelolanya.<br />Bisnis di bidang jasa pembuatan skripsi telah memunculkan simbiosis mutualisme diantara pihak-pihak yang berkepentingan. Bagi si pembuat, dengan kepandaiannya, ia bisa “melacurkan” diri dengan membuatkan skripsi dan menerima uang yang cukup lumayan dalam waktu relatif singkat dan modal yang ala kadarnya. Bagi konsumen, tentu ia bisa berleha-leha dan tinggal menerima tugas akhir dengan hanya bermodalkan uang 1-2 juta rupiah.<br />Yang lebih ironi, penulis bahkan pernah menjumpai seorang kawan yang mendapatkan “pesanan” dari seseorang untuk dibuatkan tesis. Lho? Begitulah kenyataannya. Kawan penulis tadi ternyata tidak sekedar menerima “kue” bernama skripsi, tapi tesis pun mampu diolahnya.<br />Inikah lembah hitam dunia pendidikan Indonesia?</span>M. Zainal Anwarhttp://www.blogger.com/profile/11049042467723348903noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7904858079911809246.post-38751936010108737212008-02-19T17:50:00.001+10:302008-02-19T19:54:15.186+10:30Modal Awal 17 Juta (Sambung Cerita Radio Komunitas)Selain itu, lanjut Sukoco, adanya radio sebagai media informasi adalah bagian dari pemenuhan hak informasi masyarakat yang harus dipenuhi oleh negara.Sukoco berkisah, ketika hendak mendirikan radio komunitas ini, pihaknya menggelar sarasehan warga. Hal ini dilakukan karena Sukoco ingin bahwa masyarakat tahu fungsi dan manfaat dari radio komunitas. Dengan pelibatan warga, Sukoco berharap warga merasa ikut memiliki.<br />Harapan Sukoco berbuah manis. Masyarakat bergotong royong membangun radio yang membutuhkan modal awal sebesar 17 juta. Masyarakat memberikan sumbangan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Setelah berhasil mengudara, pengelola radio komunitas ini akhirnya memutar siaran selama satu malam dan mendapat respon yang baik dari masyarakat.<br />Tiga bulan setelah radio di-launching, pemerintah pusat mengeluarkan UU 32 tahun 2002 tentang penyiaran yang membagi siaran radio menjadi tiga; publik, komunitas, dan swasta. Dan radio Wiladeg akhirnya memilih menjadi radio komunitas.<br />Pada tahun 2005, PP No. 51 tahun 2005 tentang penyiaran baru dikeluarkan. Di dalam PP tersebut diatur bahwa kepemilikan radio komunitas harus dimiliki komunitas. Pemdes Wiladeg lalu mengusahakan legalitas radio tersebut dengan bergabung di Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta (JRKY), serta membuat akte notaris dengan biaya 100 ribu dan dukungan 250 orang jiwa. Sampai sekarang, kata Sukoco, keberadaan radio komunitas tetap terjaga meskipun pengelola radionya tidak digaji.<br />Untuk membiayai operasional radio komunitas tersebut, sejak tahun 2003 desa mengalokasikan dana APBDes sebesar 2,5 juta. Alokasi dana ini untuk membeli dan memperbaiki peralatan.<br />Radio komunitas di Wiladeg ini menggunakan 2,5 kilo dengan batasan mesin 50 watt, tinggi antene sekitar 32 meter, dan alat-alatnya adalah rakitan. Supaya tidak bertabrakan dengan frekuensi lain, pengelola radio memakai pengunci frekuensi. Kalau menabrak frekuensi TV, maka diperbaiki terlebih dulu dan radio komunitas of air terlebih dulu. ”Soal ijin regulasi, pengelola radio sudah ajukan ijin ke Komite Penyiaran Indonesia (KPI),” tegas Sukoco.<br />Pada kesempatan diskusi, ada beberapa pertanyaan yang diajukan peserta. Rasidi, misalnya, menanyakan lebih jauh soal program siaran wayang kulit dan wungon selapaman. Lalu Sukri menanyakan, apakah radio komunitas bisa dipakai untuk kegiatan-kegiatan politis, misalnya kampanye calon pejabat. Lain lagi dengan Iskandar. Ia bertanya soal bagaimana cara menumbuhkan kecintaan masyarakat pada radio komunitas.<br />Atas beragam pertanyaan tersebut, Sukoco memberi respon yang cukup hangat. Terkait wungon selapanan, Wungan adalah aktivitas begadang yang dilakukan secara rutin pada malam Jum’at Kliwon. Acaranya bukan hanya begadang tapi ada sarasehan budaya dan menampilkan budaya tradisional kerawitan. Pesertanya sekitar 150 orang. Pemdes Wiladeg berharap dengan adanya sarasehan ini muncul ide membuat Wiladeg sebagai desa budaya. Biaya untuk wungon selapanan ini sudah dianggarkan di APBDes yang mencapai 8-10 juta/tahun.<br />Soal pendengar radio, dengan setengah berkelakar, Sukoco menjawab bahwa pengelola radio komunitas di Wiladeg tidak mempunyai siaran radio yang tidak disukai masyarakat. “Ini karena acara yang ada adalah acaranya pendengar,” imbuh Sukoco. Artinya, format acara yang ditampilkan di radio komunitas memang dibuat oleh masyarakat. Itulah kenapa sampai sekarang radio ini tidak pernah berhenti bersiaran karena masyarakat sangat menyenangi siaran radio.<br />Program radio yang disusun sangat beragam. Ada program siaran musik baik lagu dangdut, lagu lama dan campur sari. Di sela-sela lagu tersebut bisa disisipkan informasi yang disampaikan oleh masyarakat. Masyarakat yang menyampaikan informasi ini tidak dipungut, misalnya ada informasi kehilangan barang.<br />Mengenai program siaran yang bersifat politis, misalnya kampanye calon, maka ini belum bisa diterima dan disiarkan di radio komunitas. Dengan catatan bahwa program siaran tersebut hanya dilakukan satu pihak saja. Kalau program kampanye dilakukan secara berbarengan, maka hal ini tidak dipermasalahkan. Sukoco menegaskan bahwa jika hanya untuk kepentingan satu calon saja, maka pemdes Wiladeg akan menolak. Maksud berbarengan ini tidak harus dalam waktu yang sama, tapi bisa bergantian. Yang penting setiap calon mendapat porsi yang sama.<br />Peran komunitas juga terlihat ketika pemilihan kepala desa atau kepala dukuh. Sistem yang dipakai adalah sistem komputerisasi. Salah satu data yang ditampilkan adalah angka kehadiran pemilih. Jadi, ketika penutupan pencoblosan, masyarakat tahu berapa jumlah pemilih yang menggunakan hak suaranya. ”Karena itu, masyarakat tidak akan dbohongi oleh panitia,” ujar Sukoco.<br />Ke depan, kata Sukoco, Pemdes Wiladeg yakin bahwa eksistensi radio komunitas akan semakin kuat. Di akhir pemaparan, Sukoco mengatakan bahwa hanya radio komunitas yang bisa menjawab kepentingan masyarakat dan komunitas.M. Zainal Anwarhttp://www.blogger.com/profile/11049042467723348903noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7904858079911809246.post-38745533504098787832008-01-23T19:16:00.000+10:302008-01-23T19:31:41.451+10:30Radio Komunitas di WiladegMenjelang akhir tahun 2007 lalu, saya mendapat kesempatan jalan-jalan ke desa Wiladeg-Gunungkidul. Walau terletak di wilayah Gunungkidul yang rada jauh dari "peradaban", tapi soal kreasi dan inovasi yang dilakukan sangat mumpuni, salah satunya membuat radio komunitas untuk mengefektifkan penyelenggaraan pemerintahan desa.<br />kehadiran saya di Wiladeg tidaklah sendirian. Bersama para camat dari Kab. Aceh Besar, saya mengajak mereka berdiskusi soal manfaat radio komunitas bagi masyarakat desa. simak kisahnya berikut ini. karena cukup panjang, saya buat cerita ini berseri.<br />Radio komunitas, biasanya dibuat sebagai sarana komunikasi diantara kelompok masyarakat. Pembicaraan yang terjadi tentu seputar kegiatan yang berlangsung pada kelompok masyarakat tadi. Dengan kata lain, radio komunitas telah berkembang menjadi arena untuk interaksi untuk berkomunikasi diantara kelompok masyarakat, baik sebagai sarana untuk mensosialisasikan aktivitas kelompok maupun untuk memecahkan persoalan yang terjadi di kelompok tersebut.<br />Dalam perkembangannya, radio komunitas tidak lagi hanya dimanfaatkan kelompok masyarakat. Ia juga dipakai pemerintah desa (Pemdes) sebagai sarana komunikasi antara pemerintah dan masyarakat desa. Salah satunya adalah radio komunitas adalah yang dimiliki Pemdes Wiladeg-Gunungkidul. Oleh pemdes Wiladeg, radio komunitas ini bisa mengatasi kendala komunikasi di desa sekaligus dimanfaatkan untuk media partisipasi dan transparansi dinamika pemerintahan kepada warga desa.<br />Pertengahan Desember tahun silam, tepatnya 13 Desember 2007, IRE Yogyakarta dan pemerintah kabupaten Aceh Besar bekerjasama menggelar diskusi tentang konsep dan implementasi radio komunitas di desa Wiladeg-Gunungkidul-Yogyakarta.<br />Diskusi yang bertempat di kompleks pemerintahan desa Wiladeg-Karangmojo, kabupaten Gunungkidul-Yogyakarta ini diikuti oleh staf pemerintah desa Wiladeg, camat, sekretaris camat dan staf dari pemerintah kabupaten Aceh Besar dengan narasumber utama adalah Sukoco, kepala desa Wiladeg.<br />Dalam paparannya, Sukoco menjelaskan bahwa radio komunitas di Wiladeg mulai dirintis sejak tahun 2002 dengan bantuan seorang relawan bernama Kusuma. Adanya radio komunitas ini sangat efektif untuk mengkomunikasikan kepentingan pemerintah desa dan masyarakat.<br />Menurut Sukoco, ide pendirian radio komunitas ini dilandasi adanya pemikitan bahwa kehadiran radio komunitas di desa adalah sebagai bagian dari pemenuhan hak informasi masyarakat yang harus dipenuhi oleh negara. (Bersambung)M. Zainal Anwarhttp://www.blogger.com/profile/11049042467723348903noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7904858079911809246.post-1425974894576341872007-10-29T17:29:00.000+10:302007-10-29T17:31:15.056+10:30Mensyukuri Nikmat KemerdekaanHari ulang tahun kemerdekaan Indonesia yang jatuh setiap 17 Agustus akan segera tiba. Sudut-sudut jalan sempit terlihat rapi dengan hiasan taman. Tak ketinggalan pula, umbul-umbul serta spanduk bertuliskan Dirgahayu Kemerdekaan RI Ke-58 bertebaran, dan tentu saja setiap warga mengibarkan bendera merah putih.<br />Pada hakikatnya, kemerdekaan adalah nikmat Allah yang tak tehingga bagi bangsa Indonesia. Siapa sangka bahwa bambu runcing yang digunakan nenek moyang kita mampu merobohkan tank-tank canggih milik para penjajah. Maka tidaklah mengherankan jika founding fathers negeri ini mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan yang secara implisit ditulis dalam pembukaan (Preambule) UUD 1945.<br />Sebagai bangsa yang beradab, tentu kita harus pandai berterima kasih, memanjatkan syukur kepada Tuhan YME. Tidak mengingkari segala nikmat yang telah diberikan oleh-Nya, yang bisa mengakibatkan Tuhan akan menurunkan azab.<br />Dalam al- Qur an Surat al- Maidah ayat 20, Allah becerita tentang kaum Nabi Musa yang diminta bersyukur karena telah diberi kemerdekaan dan dibebaskan dari penindasan Fir’aun, ”Dan (ingtlah) ketika Musa berkata pada kaumnya, “Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atas kamu ketika Dia mengangkat Nabi-Nabi diantaramu, dan dijadikannya kamu orang-orang yang merdeka (bebas dari penindsan Fir’aun). <br />Bersyukur atas nikmat adalah sesuatu yang patut dilakukan. Allah senantiasa mengingatkan hamba-Nya agar mensyukuri apa yang telah Dia berikan, dan jangan sekali-kali mengingkari-Nya. “Bersyukurlah atas kenikmatan-Ku dan Janganlah mengingkari-Ku”, Demikian Allah berfirman dalam al- Qur an surat al- Baqoroh ayat 152 yang mengingatkan kita agar bersyukur atas karunia dan kenikmatan yang telah dilimpahkan pada kita.<br />Lantas bagaimana kita selayaknya mensyukuri nikmat kemerdekaan ini? Salah seorang Sahabat Nabi, yakni Sa’ad bin Abi Waqqosh, bercerita bahwa suatu saat ia keluar bersama Rasul S.A.W menuju ke Madinah. Sesampai di daerah Azwara beliau turun dari ontanya, lantas berdo’a sejenak sambil mengangkat kedua tangannya. Lalu melakukan sujud yang cukup panjang dan kemudian berdo’a lagi. Lantas sujud kembali untuk kedua kalinya. Dan hal itu beliau lakukan sampai tiga kali. Sabda beliau; sesungguhnya aku memohon kepada Tuhanku, agar aku diperkenankan mensyafa’ati umatku, lalu Tuhan memperkenankan hal itu hanya sepertiga umatku saja. Kemudian aku turun sujud lagi hingga tiga kali seraya memohon terus untuk seluruh umatku, hingga diterimalah permohonanku untuk memberi syafa’at pada seluruh umatku. Maka, (sebagai ungkapan terima kasih) aku melakukan sujud syukur kepada Tuhanku.<br />Terkabulnya sebuah do’a merupakan kenikmatan yang tiada terkira. Dengan penuh kesabaran, Rosulallah berdo’a hingga permohonannya dipenuhi oleh Allah. Begitu juga nenek moyang kita dahulu, dengan penuh kesabaran pula, mereka meminta kepada Allah agar diberikan kemerdekaan dan lepas dari belenggu penjajah.<br />Sebagai masyarakat yang tinggal menikmati kemerdekaan ini, sepatutnya kita meniru tindakan Nabi tatkala beliau memperoleh nikmat. Bukankah akan menjadi lebih indah, jika disamping memeriahkan peringatan kemerdekaan RI yang ke-58, disamping menggelar lomba-lomba, kita juga melaksanakan sujud syukur sebagai tanda terima kasih kepada Tuhan YME.M. Zainal Anwarhttp://www.blogger.com/profile/11049042467723348903noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7904858079911809246.post-75180503725839269952007-10-26T19:32:00.000+09:302007-10-26T19:36:05.894+09:30Gerakan Islam dalam Lipatan Asas Tunggal; Studi atas NU di Era 1970-1980-an<strong>Sekedar Pengantar</strong><br />Salah satu dampak penetrasi Barat ke Dunia Islam adalah menyangkut konsep dan sistem politik kenegaraan. Konsep dari Barat, misalnya nation-state, tidak saja asing, tapi juga a-historis bagi sebagian muslim.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7904858079911809246#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a> Pada gilirannya, hal ini memunculkan problem tersendiri ketika hendak memasuki wilayah konsep dan praksis penyelenggaraan negara. Problem ini menjadi kian kentara karena memunculkan dilema kepatuhan di level masyarakat, kepada negara dan atau agama. Sebagai warga negara, ia harus mematuhi konstitusi yang digariskan. Di sisi lain, sebagai umat beragama, ia memanggul mandat menjalankan dan meyakini agamanya dalam kondisi apapun.<br />Dalam konteks dilema kepatuhan tersebut, menjadi kian runcing persoalannya ketika negara mengharuskan adanya ideologi atau asas tunggal<a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7904858079911809246#_ftn2" name="_ftnref2">[2]</a> bagi warga negaranya, terutama dalam berorganisasi. Indonesia misalnya. Pada tahun 1983, Pancasila ditetapkan oleh MPR sebagai satu-satunya asas untuk semua organisasi sosial dan politik. Tak pelak, keputusan ini menjadi babak baru dunia ke-ormas-an bagi masyarakat Indonesia. Konsekwensinya, semua organisasi sosial-politik di Indonesia, tak terkecuali NU, harus bersiap diri menyesuaikan kebijakan tersebut.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7904858079911809246#_ftn3" name="_ftnref3">[3]</a><br />Keputusan ini menjadi kian kuat ketika tahun 1985, Pemerintahan Soeharto mengesahkan UU No. 8/1985 tentang Ormas dan diikuti dengan PP No. 18/1986, yang menyatakan bahwa semua organisasi sosial, agama, dan politik harus menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas ideologis dan filosofis mereka. Bagi organisasi yang menolak memasukkan Pancasila dalam AD/ART atau piagam, akan dilarang oleh pemerintah.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7904858079911809246#_ftn4" name="_ftnref4">[4]</a><br />Dalam konteks Islam dan Negara-Bangsa, menjadi menarik untuk membahas pergolakan NU dalam merespon kebijakan pemerintah khususnya pemberlakuan asas tunggal (disingkat astung) bagi semua organisasi, dan bagaimana gerakan NU pasca Khittah dan menerima astung. Pilihan terhadap NU, karena organisasi inilah yang pertama kali menerima Pancasila sebagai astung.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7904858079911809246#_ftn5" name="_ftnref5">[5]</a> Dengan begitu, ia memengaruhi dan menjadi cermin organisasi lain ketika menyikapi Pancasila sebagai astung. <br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7904858079911809246#_ftnref1" name="_ftn1">[1]</a> Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam; dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 10<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7904858079911809246#_ftnref2" name="_ftn2">[2]</a> Asas tunggal merupakan prinsip yang terdapat dalam ideologi nasional, Pancasila, yang diberlakukan sebagai asas tunggal bagi semua partai politik dan organisasi massa pada tahun 1985. lihat Daftar Kata dalam Andrée Feillard, NU vis a vis Negara; Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, terj. Lesmana, (Yogykarta: LKiS, 1999), hal. 457 <br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7904858079911809246#_ftnref3" name="_ftn3">[3]</a> Keputusan ini dituangkan dalam Ketetapan MPR No. II/MPR/1983 Tentang GBHN. Einar M. Sitompul, NU dan Pancasila, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989), hal. 24<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7904858079911809246#_ftnref4" name="_ftn4">[4]</a> Pengesahan UU ini melewati perdebatan panas. Berbagai organisasi, terutama organisasi agama, khawatir bahwa dengan mengambil Pancasila sebagai astung (satu-satunya dasar ideologis), akan mengurangi integritas, kebebasan organisasi mereka, dan bahkan mengganti raison d’etre dengan ideologi sekuler. Douglas E. Ramage, Percaturan Politik Di Indonesia; Demokrasi, Islam dan Ideologi Toleransi, terj: Hartono Hadikusumo, (Yogyakarta: Matabangsa, 2002), hal. 5-6. Utusan NU di parlemen bahkan pernah walk out ketika DPR menyidangkan Pancasila sebagai indoktrinasi ideologi resmi. Martin van Bruinessen, NU; Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, terj. Farid Wajidi, (Yogyakarta: LKiS, 1994), hal. 4 <br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7904858079911809246#_ftnref5" name="_ftn5">[5]</a> Tentang hal ini Mahbub Junaidi menyatakan, NU justru punya daya lentur dan menyambut kedinamisan sebagai hukum obyektif yang tak perlu ditentang, tapi digandeng supaya lempang jalannya. Mahbub Junaidi, “Pengantar Penerbitan,” dalam PBNU, Nahdlatul Ulama Kembali ke Khittah 1926, (Bandung: Risalah, 1985), hal. 1<br /><br />Tulisan diatas hanya sebagian kecil dari buku <em>Pergumulan tak Kunjung Usai; Islam dan Negara-Bangsa di Indonesia</em> diterbitkan oleh Politeia Press Yogyakarta (editor; M. Zainal Anwar dan A. Saifuddin/Februari/2007).M. Zainal Anwarhttp://www.blogger.com/profile/11049042467723348903noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7904858079911809246.post-28155037650037688622007-10-26T18:52:00.000+09:302007-10-26T19:30:43.919+09:30Partai Islam dan Konsolidasi Demokrasi Di IndonesiaAbstrak<br /><br />Dalam rentang sejarahnya, kontribusi partai politik Islam di Indonesia dalam kehidupan berdemokrasi selalu mengalami pasang surut. Pasca turunnya Soeharto dari tampuk kekuasaan, kehadiran partai Islam kembali menyeruak dan mewarnai kehidupan kepartaian di Indonesia. Lantas, apa saja kendala saat ini yang dihadapi partai Islam di Indonesia yang sedang menapaki masa konsolidasi demokrasi? Apa saja peran yang bisa dimainkan?<br /><br />Inilah beberapa persoalan yang akan diurai di tulisan ini. Adapun titik perhatian yang akan diberikan oleh penulis adalah kontribusi partai Islam di era konsolidasi demokrasi.<br /><br />Kata Kunci:Partai Politik Islam dan Konsolidasi Demokrasi<br /><br />Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta program ilmu politik dan pemerintahan dalam Islam dan Asisten Peneliti pada Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta<br /><br />tulisan ini pernah dimuat di Jurnal Sosiologi Agama yang diterbitkan oleh Jurusan Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta edisi 1/2007M. Zainal Anwarhttp://www.blogger.com/profile/11049042467723348903noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7904858079911809246.post-51214333141839133992007-10-26T18:38:00.000+09:302007-10-26T18:39:40.710+09:30Formalisasi Syari’at Islam di Indonesia:Oleh: M. Zainal Anwar<a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7904858079911809246#_ftn1" name="_ftnref1">®</a><br /><br />Abstract<br /><br />Di Indonesia, isu penerapan syariat Islam sudah muncul sejak lama. Anthony Reid menunjukkan bahwa sejak awal abad ke-17 M., hukum Islam yang ketat telah diterapkan secara parsial di Banten (Jawa Barat) dan Aceh, di mana misalnya hukum potong tangan diberlakukan kepada para pencuri. Hal ini menunjukkan betapa sejak awal sejarah Islam di Nusantara, isu Syariat Islam telah bergema.<br /><br />Sejak dulu hingga sekarang, perjuangan menerapkan Syariat Islam di Indonesia selalu menimbulkan pro dan kontra, terutama ketika perjuangan ini diarahkan pada upaya mendapatkan legitimasi dan operasionalisasi melalui negara secara formal. Jika selama Orde Baru perbincangan Syariat Islam seolah telah tutup buku, jatuhnya rezim Soeharto bisa dikatakan membuka lembara baru perbincangan syariat Islam tersebut. Di era desentralisasi dan otonomi daerah sekarang, gagasan penerapan Syariat Islam kembali mengemuka. Upaya untuk menggali dan memunculkan kembali "tujuh kata" yang hilang dalam Piagam Jakarta tersebut mulai digulirkan beberapa kelompok.<br /><br />Inilah tampaknya awal dari gegap gempita wacana Syariat Islam di Indonesia pasca orde baru. Setelah 9 tahun reformasi, perjuangan memformalisasikan syariat islam kian hari kian semarak. Sejak Otonomi daerah dilaksanakan hingga Juli 2006, tercatat 56 kebijakan peraturan daerah dalam berbagai bentuk; Peraturan Daerah (perda), qanun, surat edaran, dan keputusan kepala daerah. Produk kebijakan daerah tersebut secara tegas berorientasi pada ajaran moral Islam hingga pantas disebut perda Syariat Islam.<br /><br />Dalam konteks pluralisme dimana banyak kelompok yang seharusnya memiliki akses yang sama dalam mewarnai proses kebijakan, kelompok muslim, dengan adanya perda syariat tersebut, berusaha memperoleh hak istimewa dengan memunculkan kebijakan yang diinginkannya. Di aras lain, banyak kelompok yang belum sepakat dengan penerapan kebijakan publik yang bernuansa Syariat Islam. Kelompok ini biasanya adalah minoritas non-muslim dan kalangan muslim moderat.<br /><br />Tulisan ini mengulas formalisasi Syariat Islam dalam aras kebijakan publik di Indonesia. Untuk mengulas hal tersebut, penulis menggunakan perspektif pluralisme politik. Dalam pendekatan pluralisme politik dalam kebijakan publik, ada beberapa pertanyaan kunci yang akan memandu peneliti dalam studi ini. Pertanyaan penting dalam pendekatan pluralisme adalah; siapa yang terlibat dalam proses pembuatan keputusan; pilihan siapa yang diterima sebagai sebuah keputusan; dan siapakah yang bisa memberi pengaruh terhadap hasil (outcomes) keputusan.<br /><br />Setelah membahas panjang lebar konsep pluralisme politik dan kebijakan publik, tulisan ini lalu membahas wacana dan aspirasi formalisasi Syari’at Islam yang bergaung di level Pusat hingga daerah, dan respon kaum minoritas terhadap kebijakan publik yang merujuk pada agama tertentu. Alur tulisan ini beranjak pada perspektif pluralisme politik terhadap persoalan yang diangkat dan diakhiri dengan penutup.<br /><br />Keywords: The Formalitation of Shari'ah, public policy, moslem community, non-moslem community, pluralisme politik.<br /><br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7904858079911809246#_ftnref1" name="_ftn1">®</a> Alumni Fakultas Syari'ah tahun 2005. Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogya Prodi Hukum Islam dengan Konsentrasi Ilmu Politik dan Pemerintahan dalam Islam dan Staf Peneliti Institute for Research and Empowerment [IRE] Yogyakarta.M. Zainal Anwarhttp://www.blogger.com/profile/11049042467723348903noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-7904858079911809246.post-48663982127945304952007-10-26T18:35:00.002+09:302008-10-07T15:48:43.030+10:30cur vitAlumni program pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta program studi Ilmu Politik Islam pada tahun 2008. Sejak MI-MA nyantri di Madrasah Qudsiyyah, Kudus, sebuah kota kecil di pesisir utara Jawa. Aktivitas kesehariannya dihabiskan di Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta, sebuah LSM yang melakukan penelitian dan pemberdayaan di bidang Civil Society, Gerakan Sosial dan Demokrasi.<br />Sejak kuliah hingga sekarang, menulis menjadi bagian penting dari hidupnya. Hal ini membuatnya aktif di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) ARENA. Disana, ia belajar menjadi jurnalis dan penulis lepas. Beberapa karya tulisnya dapat ditemukan Jawa Pos, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Jurnal Perempuan, Majalah ARENA, bulletin Mudik, dan Majalah Flamma.<br />Pernah pula mengikuti Minor Research mahasiswa tentang “Gender dan Kesehatan Reproduksi” kerjasama PSW IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan McGill IISEP-CIDA Canada. Penelitian ini tentang Wacana Kepemimpinan Perempuan dalam Islam (Studi terhadap kitab-kitab yang diajarkan di Ma’had ‘Ali Krapyak).<br />Selain itu, pernah memenangi beberapa lomba karya tulis ilmiah yang diselenggarakan oleh IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2001), BEMJ Akhwal Asy-Syakhsiyyah (2002) dan Pusat Studi dan Konsultasi Hukum (2002).<br />Saat ini sedang mengerjakan tesis yang mengambil tema tentang Partai Politik sebagai instrument kebijakan publik. Penulis bisa dihubungi via email; <a href="mailto:znl_sy@yahoo.com">znl_sy@yahoo.com</a> atau <a href="mailto:zainalanwar@gmail.com">zainalanwar@gmail.com</a>. Saat ini sedang di Adelaide-South Australia hingga 2010 dan menjadi associate borrower di perpustakaan Flinders University.M. Zainal Anwarhttp://www.blogger.com/profile/11049042467723348903noreply@blogger.com0