Februari 19, 2008

Modal Awal 17 Juta (Sambung Cerita Radio Komunitas)

Selain itu, lanjut Sukoco, adanya radio sebagai media informasi adalah bagian dari pemenuhan hak informasi masyarakat yang harus dipenuhi oleh negara.Sukoco berkisah, ketika hendak mendirikan radio komunitas ini, pihaknya menggelar sarasehan warga. Hal ini dilakukan karena Sukoco ingin bahwa masyarakat tahu fungsi dan manfaat dari radio komunitas. Dengan pelibatan warga, Sukoco berharap warga merasa ikut memiliki.
Harapan Sukoco berbuah manis. Masyarakat bergotong royong membangun radio yang membutuhkan modal awal sebesar 17 juta. Masyarakat memberikan sumbangan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Setelah berhasil mengudara, pengelola radio komunitas ini akhirnya memutar siaran selama satu malam dan mendapat respon yang baik dari masyarakat.
Tiga bulan setelah radio di-launching, pemerintah pusat mengeluarkan UU 32 tahun 2002 tentang penyiaran yang membagi siaran radio menjadi tiga; publik, komunitas, dan swasta. Dan radio Wiladeg akhirnya memilih menjadi radio komunitas.
Pada tahun 2005, PP No. 51 tahun 2005 tentang penyiaran baru dikeluarkan. Di dalam PP tersebut diatur bahwa kepemilikan radio komunitas harus dimiliki komunitas. Pemdes Wiladeg lalu mengusahakan legalitas radio tersebut dengan bergabung di Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta (JRKY), serta membuat akte notaris dengan biaya 100 ribu dan dukungan 250 orang jiwa. Sampai sekarang, kata Sukoco, keberadaan radio komunitas tetap terjaga meskipun pengelola radionya tidak digaji.
Untuk membiayai operasional radio komunitas tersebut, sejak tahun 2003 desa mengalokasikan dana APBDes sebesar 2,5 juta. Alokasi dana ini untuk membeli dan memperbaiki peralatan.
Radio komunitas di Wiladeg ini menggunakan 2,5 kilo dengan batasan mesin 50 watt, tinggi antene sekitar 32 meter, dan alat-alatnya adalah rakitan. Supaya tidak bertabrakan dengan frekuensi lain, pengelola radio memakai pengunci frekuensi. Kalau menabrak frekuensi TV, maka diperbaiki terlebih dulu dan radio komunitas of air terlebih dulu. ”Soal ijin regulasi, pengelola radio sudah ajukan ijin ke Komite Penyiaran Indonesia (KPI),” tegas Sukoco.
Pada kesempatan diskusi, ada beberapa pertanyaan yang diajukan peserta. Rasidi, misalnya, menanyakan lebih jauh soal program siaran wayang kulit dan wungon selapaman. Lalu Sukri menanyakan, apakah radio komunitas bisa dipakai untuk kegiatan-kegiatan politis, misalnya kampanye calon pejabat. Lain lagi dengan Iskandar. Ia bertanya soal bagaimana cara menumbuhkan kecintaan masyarakat pada radio komunitas.
Atas beragam pertanyaan tersebut, Sukoco memberi respon yang cukup hangat. Terkait wungon selapanan, Wungan adalah aktivitas begadang yang dilakukan secara rutin pada malam Jum’at Kliwon. Acaranya bukan hanya begadang tapi ada sarasehan budaya dan menampilkan budaya tradisional kerawitan. Pesertanya sekitar 150 orang. Pemdes Wiladeg berharap dengan adanya sarasehan ini muncul ide membuat Wiladeg sebagai desa budaya. Biaya untuk wungon selapanan ini sudah dianggarkan di APBDes yang mencapai 8-10 juta/tahun.
Soal pendengar radio, dengan setengah berkelakar, Sukoco menjawab bahwa pengelola radio komunitas di Wiladeg tidak mempunyai siaran radio yang tidak disukai masyarakat. “Ini karena acara yang ada adalah acaranya pendengar,” imbuh Sukoco. Artinya, format acara yang ditampilkan di radio komunitas memang dibuat oleh masyarakat. Itulah kenapa sampai sekarang radio ini tidak pernah berhenti bersiaran karena masyarakat sangat menyenangi siaran radio.
Program radio yang disusun sangat beragam. Ada program siaran musik baik lagu dangdut, lagu lama dan campur sari. Di sela-sela lagu tersebut bisa disisipkan informasi yang disampaikan oleh masyarakat. Masyarakat yang menyampaikan informasi ini tidak dipungut, misalnya ada informasi kehilangan barang.
Mengenai program siaran yang bersifat politis, misalnya kampanye calon, maka ini belum bisa diterima dan disiarkan di radio komunitas. Dengan catatan bahwa program siaran tersebut hanya dilakukan satu pihak saja. Kalau program kampanye dilakukan secara berbarengan, maka hal ini tidak dipermasalahkan. Sukoco menegaskan bahwa jika hanya untuk kepentingan satu calon saja, maka pemdes Wiladeg akan menolak. Maksud berbarengan ini tidak harus dalam waktu yang sama, tapi bisa bergantian. Yang penting setiap calon mendapat porsi yang sama.
Peran komunitas juga terlihat ketika pemilihan kepala desa atau kepala dukuh. Sistem yang dipakai adalah sistem komputerisasi. Salah satu data yang ditampilkan adalah angka kehadiran pemilih. Jadi, ketika penutupan pencoblosan, masyarakat tahu berapa jumlah pemilih yang menggunakan hak suaranya. ”Karena itu, masyarakat tidak akan dbohongi oleh panitia,” ujar Sukoco.
Ke depan, kata Sukoco, Pemdes Wiladeg yakin bahwa eksistensi radio komunitas akan semakin kuat. Di akhir pemaparan, Sukoco mengatakan bahwa hanya radio komunitas yang bisa menjawab kepentingan masyarakat dan komunitas.

Tidak ada komentar: