Oktober 29, 2007

Mensyukuri Nikmat Kemerdekaan

Hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia yang jatuh setiap 17 Agustus akan segera tiba. Sudut-sudut jalan sempit terlihat rapi dengan hiasan taman. Tak ketinggalan pula, umbul-umbul serta spanduk bertuliskan Dirgahayu Kemerdekaan RI Ke-58 bertebaran, dan tentu saja setiap warga mengibarkan bendera merah putih.
Pada hakikatnya, kemerdekaan adalah nikmat Allah yang tak tehingga bagi bangsa Indonesia. Siapa sangka bahwa bambu runcing yang digunakan nenek moyang kita mampu merobohkan tank-tank canggih milik para penjajah. Maka tidaklah mengherankan jika founding fathers negeri ini mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan yang secara implisit ditulis dalam pembukaan (Preambule) UUD 1945.
Sebagai bangsa yang beradab, tentu kita harus pandai berterima kasih, memanjatkan syukur kepada Tuhan YME. Tidak mengingkari segala nikmat yang telah diberikan oleh-Nya, yang bisa mengakibatkan Tuhan akan menurunkan azab.
Dalam al- Qur an Surat al- Maidah ayat 20, Allah becerita tentang kaum Nabi Musa yang diminta bersyukur karena telah diberi kemerdekaan dan dibebaskan dari penindasan Fir’aun, ”Dan (ingtlah) ketika Musa berkata pada kaumnya, “Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atas kamu ketika Dia mengangkat Nabi-Nabi diantaramu, dan dijadikannya kamu orang-orang yang merdeka (bebas dari penindsan Fir’aun).
Bersyukur atas nikmat adalah sesuatu yang patut dilakukan. Allah senantiasa mengingatkan hamba-Nya agar mensyukuri apa yang telah Dia berikan, dan jangan sekali-kali mengingkari-Nya. “Bersyukurlah atas kenikmatan-Ku dan Janganlah mengingkari-Ku”, Demikian Allah berfirman dalam al- Qur an surat al- Baqoroh ayat 152 yang mengingatkan kita agar bersyukur atas karunia dan kenikmatan yang telah dilimpahkan pada kita.
Lantas bagaimana kita selayaknya mensyukuri nikmat kemerdekaan ini? Salah seorang Sahabat Nabi, yakni Sa’ad bin Abi Waqqosh, bercerita bahwa suatu saat ia keluar bersama Rasul S.A.W menuju ke Madinah. Sesampai di daerah Azwara beliau turun dari ontanya, lantas berdo’a sejenak sambil mengangkat kedua tangannya. Lalu melakukan sujud yang cukup panjang dan kemudian berdo’a lagi. Lantas sujud kembali untuk kedua kalinya. Dan hal itu beliau lakukan sampai tiga kali. Sabda beliau; sesungguhnya aku memohon kepada Tuhanku, agar aku diperkenankan mensyafa’ati umatku, lalu Tuhan memperkenankan hal itu hanya sepertiga umatku saja. Kemudian aku turun sujud lagi hingga tiga kali seraya memohon terus untuk seluruh umatku, hingga diterimalah permohonanku untuk memberi syafa’at pada seluruh umatku. Maka, (sebagai ungkapan terima kasih) aku melakukan sujud syukur kepada Tuhanku.
Terkabulnya sebuah do’a merupakan kenikmatan yang tiada terkira. Dengan penuh kesabaran, Rosulallah berdo’a hingga permohonannya dipenuhi oleh Allah. Begitu juga nenek moyang kita dahulu, dengan penuh kesabaran pula, mereka meminta kepada Allah agar diberikan kemerdekaan dan lepas dari belenggu penjajah.
Sebagai masyarakat yang tinggal menikmati kemerdekaan ini, sepatutnya kita meniru tindakan Nabi tatkala beliau memperoleh nikmat. Bukankah akan menjadi lebih indah, jika disamping memeriahkan peringatan kemerdekaan RI yang ke-58, disamping menggelar lomba-lomba, kita juga melaksanakan sujud syukur sebagai tanda terima kasih kepada Tuhan YME.

Oktober 26, 2007

Gerakan Islam dalam Lipatan Asas Tunggal; Studi atas NU di Era 1970-1980-an

Sekedar Pengantar
Salah satu dampak penetrasi Barat ke Dunia Islam adalah menyangkut konsep dan sistem politik kenegaraan. Konsep dari Barat, misalnya nation-state, tidak saja asing, tapi juga a-historis bagi sebagian muslim.[1] Pada gilirannya, hal ini memunculkan problem tersendiri ketika hendak memasuki wilayah konsep dan praksis penyelenggaraan negara. Problem ini menjadi kian kentara karena memunculkan dilema kepatuhan di level masyarakat, kepada negara dan atau agama. Sebagai warga negara, ia harus mematuhi konstitusi yang digariskan. Di sisi lain, sebagai umat beragama, ia memanggul mandat menjalankan dan meyakini agamanya dalam kondisi apapun.
Dalam konteks dilema kepatuhan tersebut, menjadi kian runcing persoalannya ketika negara mengharuskan adanya ideologi atau asas tunggal[2] bagi warga negaranya, terutama dalam berorganisasi. Indonesia misalnya. Pada tahun 1983, Pancasila ditetapkan oleh MPR sebagai satu-satunya asas untuk semua organisasi sosial dan politik. Tak pelak, keputusan ini menjadi babak baru dunia ke-ormas-an bagi masyarakat Indonesia. Konsekwensinya, semua organisasi sosial-politik di Indonesia, tak terkecuali NU, harus bersiap diri menyesuaikan kebijakan tersebut.[3]
Keputusan ini menjadi kian kuat ketika tahun 1985, Pemerintahan Soeharto mengesahkan UU No. 8/1985 tentang Ormas dan diikuti dengan PP No. 18/1986, yang menyatakan bahwa semua organisasi sosial, agama, dan politik harus menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas ideologis dan filosofis mereka. Bagi organisasi yang menolak memasukkan Pancasila dalam AD/ART atau piagam, akan dilarang oleh pemerintah.[4]
Dalam konteks Islam dan Negara-Bangsa, menjadi menarik untuk membahas pergolakan NU dalam merespon kebijakan pemerintah khususnya pemberlakuan asas tunggal (disingkat astung) bagi semua organisasi, dan bagaimana gerakan NU pasca Khittah dan menerima astung. Pilihan terhadap NU, karena organisasi inilah yang pertama kali menerima Pancasila sebagai astung.[5] Dengan begitu, ia memengaruhi dan menjadi cermin organisasi lain ketika menyikapi Pancasila sebagai astung.
[1] Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam; dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 10
[2] Asas tunggal merupakan prinsip yang terdapat dalam ideologi nasional, Pancasila, yang diberlakukan sebagai asas tunggal bagi semua partai politik dan organisasi massa pada tahun 1985. lihat Daftar Kata dalam Andrée Feillard, NU vis a vis Negara; Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, terj. Lesmana, (Yogykarta: LKiS, 1999), hal. 457
[3] Keputusan ini dituangkan dalam Ketetapan MPR No. II/MPR/1983 Tentang GBHN. Einar M. Sitompul, NU dan Pancasila, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989), hal. 24
[4] Pengesahan UU ini melewati perdebatan panas. Berbagai organisasi, terutama organisasi agama, khawatir bahwa dengan mengambil Pancasila sebagai astung (satu-satunya dasar ideologis), akan mengurangi integritas, kebebasan organisasi mereka, dan bahkan mengganti raison d’etre dengan ideologi sekuler. Douglas E. Ramage, Percaturan Politik Di Indonesia; Demokrasi, Islam dan Ideologi Toleransi, terj: Hartono Hadikusumo, (Yogyakarta: Matabangsa, 2002), hal. 5-6. Utusan NU di parlemen bahkan pernah walk out ketika DPR menyidangkan Pancasila sebagai indoktrinasi ideologi resmi. Martin van Bruinessen, NU; Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, terj. Farid Wajidi, (Yogyakarta: LKiS, 1994), hal. 4
[5] Tentang hal ini Mahbub Junaidi menyatakan, NU justru punya daya lentur dan menyambut kedinamisan sebagai hukum obyektif yang tak perlu ditentang, tapi digandeng supaya lempang jalannya. Mahbub Junaidi, “Pengantar Penerbitan,” dalam PBNU, Nahdlatul Ulama Kembali ke Khittah 1926, (Bandung: Risalah, 1985), hal. 1

Tulisan diatas hanya sebagian kecil dari buku Pergumulan tak Kunjung Usai; Islam dan Negara-Bangsa di Indonesia diterbitkan oleh Politeia Press Yogyakarta (editor; M. Zainal Anwar dan A. Saifuddin/Februari/2007).

Partai Islam dan Konsolidasi Demokrasi Di Indonesia

Abstrak

Dalam rentang sejarahnya, kontribusi partai politik Islam di Indonesia dalam kehidupan berdemokrasi selalu mengalami pasang surut. Pasca turunnya Soeharto dari tampuk kekuasaan, kehadiran partai Islam kembali menyeruak dan mewarnai kehidupan kepartaian di Indonesia. Lantas, apa saja kendala saat ini yang dihadapi partai Islam di Indonesia yang sedang menapaki masa konsolidasi demokrasi? Apa saja peran yang bisa dimainkan?

Inilah beberapa persoalan yang akan diurai di tulisan ini. Adapun titik perhatian yang akan diberikan oleh penulis adalah kontribusi partai Islam di era konsolidasi demokrasi.

Kata Kunci:Partai Politik Islam dan Konsolidasi Demokrasi

Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta program ilmu politik dan pemerintahan dalam Islam dan Asisten Peneliti pada Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta

tulisan ini pernah dimuat di Jurnal Sosiologi Agama yang diterbitkan oleh Jurusan Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta edisi 1/2007

Formalisasi Syari’at Islam di Indonesia:

Oleh: M. Zainal Anwar®

Abstract

Di Indonesia, isu penerapan syariat Islam sudah muncul sejak lama. Anthony Reid menunjukkan bahwa sejak awal abad ke-17 M., hukum Islam yang ketat telah diterapkan secara parsial di Banten (Jawa Barat) dan Aceh, di mana misalnya hukum potong tangan diberlakukan kepada para pencuri. Hal ini menunjukkan betapa sejak awal sejarah Islam di Nusantara, isu Syariat Islam telah bergema.

Sejak dulu hingga sekarang, perjuangan menerapkan Syariat Islam di Indonesia selalu menimbulkan pro dan kontra, terutama ketika perjuangan ini diarahkan pada upaya mendapatkan legitimasi dan operasionalisasi melalui negara secara formal. Jika selama Orde Baru perbincangan Syariat Islam seolah telah tutup buku, jatuhnya rezim Soeharto bisa dikatakan membuka lembara baru perbincangan syariat Islam tersebut. Di era desentralisasi dan otonomi daerah sekarang, gagasan penerapan Syariat Islam kembali mengemuka. Upaya untuk menggali dan memunculkan kembali "tujuh kata" yang hilang dalam Piagam Jakarta tersebut mulai digulirkan beberapa kelompok.

Inilah tampaknya awal dari gegap gempita wacana Syariat Islam di Indonesia pasca orde baru. Setelah 9 tahun reformasi, perjuangan memformalisasikan syariat islam kian hari kian semarak. Sejak Otonomi daerah dilaksanakan hingga Juli 2006, tercatat 56 kebijakan peraturan daerah dalam berbagai bentuk; Peraturan Daerah (perda), qanun, surat edaran, dan keputusan kepala daerah. Produk kebijakan daerah tersebut secara tegas berorientasi pada ajaran moral Islam hingga pantas disebut perda Syariat Islam.

Dalam konteks pluralisme dimana banyak kelompok yang seharusnya memiliki akses yang sama dalam mewarnai proses kebijakan, kelompok muslim, dengan adanya perda syariat tersebut, berusaha memperoleh hak istimewa dengan memunculkan kebijakan yang diinginkannya. Di aras lain, banyak kelompok yang belum sepakat dengan penerapan kebijakan publik yang bernuansa Syariat Islam. Kelompok ini biasanya adalah minoritas non-muslim dan kalangan muslim moderat.

Tulisan ini mengulas formalisasi Syariat Islam dalam aras kebijakan publik di Indonesia. Untuk mengulas hal tersebut, penulis menggunakan perspektif pluralisme politik. Dalam pendekatan pluralisme politik dalam kebijakan publik, ada beberapa pertanyaan kunci yang akan memandu peneliti dalam studi ini. Pertanyaan penting dalam pendekatan pluralisme adalah; siapa yang terlibat dalam proses pembuatan keputusan; pilihan siapa yang diterima sebagai sebuah keputusan; dan siapakah yang bisa memberi pengaruh terhadap hasil (outcomes) keputusan.

Setelah membahas panjang lebar konsep pluralisme politik dan kebijakan publik, tulisan ini lalu membahas wacana dan aspirasi formalisasi Syari’at Islam yang bergaung di level Pusat hingga daerah, dan respon kaum minoritas terhadap kebijakan publik yang merujuk pada agama tertentu. Alur tulisan ini beranjak pada perspektif pluralisme politik terhadap persoalan yang diangkat dan diakhiri dengan penutup.

Keywords: The Formalitation of Shari'ah, public policy, moslem community, non-moslem community, pluralisme politik.

® Alumni Fakultas Syari'ah tahun 2005. Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogya Prodi Hukum Islam dengan Konsentrasi Ilmu Politik dan Pemerintahan dalam Islam dan Staf Peneliti Institute for Research and Empowerment [IRE] Yogyakarta.

cur vit

Alumni program pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta program studi Ilmu Politik Islam pada tahun 2008. Sejak MI-MA nyantri di Madrasah Qudsiyyah, Kudus, sebuah kota kecil di pesisir utara Jawa. Aktivitas kesehariannya dihabiskan di Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta, sebuah LSM yang melakukan penelitian dan pemberdayaan di bidang Civil Society, Gerakan Sosial dan Demokrasi.
Sejak kuliah hingga sekarang, menulis menjadi bagian penting dari hidupnya. Hal ini membuatnya aktif di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) ARENA. Disana, ia belajar menjadi jurnalis dan penulis lepas. Beberapa karya tulisnya dapat ditemukan Jawa Pos, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Jurnal Perempuan, Majalah ARENA, bulletin Mudik, dan Majalah Flamma.
Pernah pula mengikuti Minor Research mahasiswa tentang “Gender dan Kesehatan Reproduksi” kerjasama PSW IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan McGill IISEP-CIDA Canada. Penelitian ini tentang Wacana Kepemimpinan Perempuan dalam Islam (Studi terhadap kitab-kitab yang diajarkan di Ma’had ‘Ali Krapyak).
Selain itu, pernah memenangi beberapa lomba karya tulis ilmiah yang diselenggarakan oleh IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2001), BEMJ Akhwal Asy-Syakhsiyyah (2002) dan Pusat Studi dan Konsultasi Hukum (2002).
Saat ini sedang mengerjakan tesis yang mengambil tema tentang Partai Politik sebagai instrument kebijakan publik. Penulis bisa dihubungi via email; znl_sy@yahoo.com atau zainalanwar@gmail.com. Saat ini sedang di Adelaide-South Australia hingga 2010 dan menjadi associate borrower di perpustakaan Flinders University.