November 18, 2008

Menjumpai Demokrasi ala Amerika di Rusia

Kisah nyata tentang 3 orang Amerika yang ikut “bermain” dalam pemilu di Rusia.

Sejarah Rusia pada tahun 1996 adalah era dimana pemilihan umum yang bebas untuk pertama kalinya akan digelar. Namun, ada kegelisahan yang menyelinap dihati Boris Yeltsin, Presiden Rusia waktu itu. Ia menghadapi persoalan serius; tentang popularitasnya yang rendah dimata rakyat, padahal pemilu tinggal beberapa bulan lagi.

Inilah cerita film yang berjudul Spinning Boris; Electing A Russian President. Cerita film diawali seorang Rusia yang menghampiri tiga orang konsultan politik Amerika, George Gorton, Dick Dresner dan Joe Shumate. Setelah dilobi beberapa saat, mereka bertiga setuju untuk bergabung dengan tim kampanye guna memuluskan jalan Boris Yeltsin.

Disambut hawa dingin kota Moscow, tibalah tiga orang tersebut di salah satu bandara di Rusia. Sekelompok pengawal yang lengkap dengan senjata, segera menggambarkan betapa kondisi Rusia, Moscow khususnya, masih diliputi ketegangan sisa-sisa kekuasaan komunis. Cerita pun dimulai ketika para konsultan tersebut bertemu dengan putri Yeltsin yang ikut bertanggungjawab dalam tim, Tattiana. Adegan demi adegan akan sering dipenuhi dengan bagaimana metode kampanye ala Amerika dihentakkan kepada Yeltsin melalui para pengawalnya, yang nota bene masih memegang teguh tata nilai ala Rusia yang kaku dan tidak begitu begitu mempedulikan audience, misalnya.

21 Februari 1996, sekitar tiga bulan sebelum hari H pemilihan umum di Rusia, wajah Rusia telah mulai akrab dengan berbagai ikon globalisasi, seperti Coca Cola dan lainnya. Di bidang politik, tentu saja demokrasi sudah mulai bersemai kedalam tubuh masyarakat. Lalu, bagaimana demokrasi yang dibayangkan masyarakat Rusia bertemu dengan demokrasi dari wilayah yang sering menyebut dirinya kampiun demokrasi?

Disinilah sisi menarik film tersebut. Secara telanjang, film ini menggambarkan pergulatan yang terjadi dalam tim kampanye kandidat presiden Rusia pada pemilu tahun 1996, Boris Yeltsin. Tattiana, putri Yeltsin yang memegang peranan penting dalam tim kampanye, berhadapan dengan George, Dick dan Joe, tiga konsultan kampanye yang telah malang melintang di negerinya, Amerika.

Pergulatan tersebut mulai terlihat ketika, tiga konsultan tersebut mendesak Tattiana agar mempertemukan mereka dengan Yeltsin. Dalam benak Joe dkk., tidak klop jika dirinya sebagai tim kampanye yang disewa dari Amerika tidak bisa bertatap muka langsung dengan orang yang akan diusungnya. Permintaan ditampik Tattiana, sambil menjelaskan bahwa dirinyalah yang akan menyampaikan masukan kepada ayahnya, bukan Joe dan kawan-kawannya.

Yang tidak boleh terlewatkan adalah bagaimana media, terutama televisi, mempertontonkan jajak pendapat antara Yeltsin yang dianggap representasi demokrasi, berhadapan dengan Zyuganov, representasi Komunis. Pencitraan media ini juga dengan cerdik terus dipantau Joe dkk. Suatu pekerjaan yang pada awalnya diabaikan Tattiana dan timnya. Lewat analisa yang jitu, Joe dkk berhasil mendongkrak perolehan Yeltsin dalam jajak pendapat di televisi Rusia. Tentu saja, masukan dari Joe dkk tidak dengan mulus diterima Tattiana. Ini terlihat ketika usulan agar Yeltsin mau berdansa, tersenyum, menggendong anak kecil, bahkan menyerang calon presiden yang menjadi lawannya dalam pemilu, dianggap tidak sesuai dengan budaya politik Rusia dan sangat berbau demokrasi Amerika. Namun demikian, perdebatan pun berujung ketika Yeltsin akhirnya mau menjalankan dan terbukti melambungkan suaranya dalam jajak pendapat di tv. Buktinya, dari 6% untuk Yeltsin dan 30% untuk Zyuganov, pada waktu pemilu kurang sekitar 4 bulan, hingga mencapai 20% bagi Yeltsin berbanding 22% untuk Zyugabov ketika hari H pemilu tinggal 8 hari lagi.

Sisi lain yang menarik adalah bagaimana tim kampanye bekerja dan menemui masyarakat kelas bawah untuk lebih mendekatkan calon kepada warga. Dari sini terlihat betapa tim kecil, yang dikomandoi Vasso, bergerak ke akar rumput menelusuri dan memetakan persoalan masyarakat. Ini terlihat ketika tim kecil datang ke masyarakat petani. Dalam forum kecil tersebut terungkap betapa kelompok petani, misalnya, tidak begitu peduli dengan tanah, tapi yang mereka inginkan adalah ketenangan, dan munucul juga pertanyaan menarik dari salah seorang petani, “kami takut jika komunis menang, akan ada perang sipil antara yang kaya dan yang miskin.” Dan di forum kecil seperti itulah, upaya mempopulerkan calon lebih terasa, dan akhirnya mengantarkan Boris Yeltsin ke tampuk kekuasaan Rusia dengan 35,2 %.
Rusia dan Pemilihan Presiden 1996

Pemilu merupakan instalasi yang cukup penting bagi demokrasi. Robert A. Dahl (2001:132), mendedahkan, jika kita menginginkan persamaan politik, maka setiap warga negara harus memiliki sebuah kesempatan yang sama dan efektif dalam memilih, dan semua suara harus dihitung sama. Jika persamaan dalam memberikan suara dilaksanakan, jelaslah pemilu harus bebas dan adil. Bebas, artinya warga negara dapat pergi ke tempat pemungutan tanpa rasa takut, dan adil artinya, semua pemilih harus dianggap sama. Inilah dua prinsip utama dalam pelaksanaan pemilu.

Sutoro Eko (2004:31-32) menjelaskan, pemilu bukanlah persitiwa politik luar biasa, apalagi di negara yang menyandang gelar advanced democracy. Dalam teori demokrasi minimalis (Schumpeterian), pemilu merupakan arena yang mewadahi kompetisi (kontestasi) untuk meraih kekuasaan; partisipasi politik rakyat serta liberalisasi hak-hak sipil dan politik warga. Namun demikian, ia sering menjadi hal yang luar biasa jika terjadi di negara yang baru saja keluar dari fase otoriter dan masih dalam tahap transisi, seperti Rusia 1996. Dalam konteks pemilihan Presiden Rusia 1996, ada beberapa hal yang menarik dicermati, terutama keterlibatan tiga orang Amerika yang menjadi konsultan kampanye Boris Yeltsin. Dikatakan menarik, karena terjadi internalisasi trik berkampanye ala Amerika, disebut juga dengan phony American tricks, dalam prilaku berkampanye Boris Yeltsin utamanya. Ketika Yeltsin berdansa, mengunjungi pemuka agama, menggendong anak kecil, dan mengumbar senyum ke publik, sangat terasa sekali gaya Amerikanya. Apalagi televisi menyiarkannya secara gencar. Bisa disebut, inilah gaya demokrasi, terutama dalam kampanye dan komunikasi politik, ala Amerika yang mengedepankan keterbukaan, memaksimalkan kompetisi dan memanfaatkan media.

Pemilihan Presiden Rusia tahun 1996, dalam pandangan Larry Diamond (2003:38-39), dikatakan relatif berhasil dan menjadi sebuah langkah penting ke arah pelembagaan persaingan electoral. Namun demikian, hal itu juga bisa dipandang lebih sebagai suatu cara untuk menghindari bencana politik ketimbang sebagai sebuah capaian penting pada kebebasan politik.

Demokrasi dan Rekayasa Pemilu

Kaitan antara pemilu dan demokrasi sangatlah erat. Munafrizal Manan (2005: 111) mengatakan, pemilu merupakan sarana yang penting bagi terselenggaranya sistem politik yang demokratis. Selain itu, pemilu memberikan landasan legitimasi yang kukuh bagi setiap pemerintahan. Lalu, bagaimana jika pemilu dilakukan secara bebas, adil dan jujur, tapi didalamnya ada suatu permainan, rekayasa, bahkan manipulasi pelaksanaan pemilu demi kemenangan suatu calon?

Rekayasa pemilu, jika mengarah pada kecurangan, manipulasi, diskriminasi, dan bahkan initimidasi, maka ini menjadi kecelakaan bagi demokrasi. Munafrizal (2005: 112) menegaskan, kondisi ini bisa terjadi karena pemilu hanya dijadikan sebagai formalitas demokrasi untuk memperkokoh kekuasaan rezim yang berkuasa.

Sebaliknya, rekayasa pemilu dengan pendekatan rasional dan partisipastoris, seperti penyelenggaraan jajak pendapat yang jujur dan proporsional, mendatangi langsung ke warga kelas bawah untuk mencari akar permasalahan yang duhadapi, lalu dirumuskan menjadi isu dan program seorang calon, maka hal ini berkontribusi positif terhadap perkembangan demokrasi. Hal ini justru membuat demokrasi lebih bermakna.

Bagi saya, pernyataan Yeltsin, melalui Tattiana, jika dirinya tidak dapat memenangkan pemilu presiden, maka demokrasi akan terancam keberlanjutannya, menyiratkan adanya keinginan untuk melanggengkan kekuasaan. Ini pula yang menjadi salah satu alasan kenapa tiga orang konsultan politik Amerika didatangkan.

Apa yang dilakukan Yeltsin dan tim kampanyenya, bagi penulis, menjadi kontribusi positif bagi demokrasi di Rusia. Rekayasa yang dilakukan, pada akhirnya memunculkan dialektika antara demokrasi ala Amerika dan demokrasi yang dibayangkan orang Rusia. Hal ini bergitu terlihat ketika, Joe dkk., “mengajarkan” bagaimana harus memanfaatkan media sebagai komunikasi politik, mendatangi warga yang masih mengambang, mendekati masyarakat dengan apa yang diinginkan mereka, serta mengajak bicara dengan warga tidak dengan perut kosong. Yang terakhir ini tentu menyiratkan adanya kampanye yang tidak mengabaikan realitas masyarakat Rusia yang masih dilanda kemiskinan.


Masa Depan Demokrasi di Rusia

Sebagai negara yang baru saja lepas dari komunisme, wacana demokrasi dan keberanjutannya menjadi sangat penting. Menurut Larry Diamond (2003:11), jika memakai definisi minimalis yang hanya menekankan pada aspek elektoral, maka Rusia tergolong negara demokrasi. Tapi menurut konseptualisasi yang lebih ketat, Rusia mungkin tidak masuk dalam kategori demokrasi liberal. Lalu, apakah demokrasi di Rusia puas dengan hanya status demokrasi minimalisnya dan hanya demokrasi prosedural? Tentu tidak.

Jika demokrasi prosedural saja dianggap cukup, maka akan tercapai titik jenuh ketika persoalan yang terjadi di masyarakat tidak segera terselesaikan. Demokrasi prosedural harus diimbangi pula dengan demokrasi substansif yang harus dipraktikkan dalam kehidupan keseharian. Suatu masyarakat tidak noleh berpuas diri hanya karena bisa menyelenggarakan suatu pemilu dengan baik.

Dalam semesta pembicaraan demokrasi ini, saya lebih apresiatif terhadap demokrasi komunitarian. Sutoro Eko (2004:57-58) menjelaskan, prinsip dasar demokrasi ini adalah bahwa masyarakat berskala besar dan pemerintah hidup lebih lama daripada banyak utilitas mereka dan mereka perlu diganti oleh unit pemerintahan yang lebih kecil. Basis yang tepat bagi pemeriintahan adalah komunitas. Dalam pandangan ini, otonomi perseorangan menyatakan penghormatan yang substansial terhadap otonomi individu lain dan juga memelihara proses aktualisasi diri. Tindakan yang mungkin membahayakan terhadap kesejahteraan bersama tidak dapat diterima, sekalipun mereka memenuhi keinginan individualistik beberapa anggota masyarakat.

Dengan demokrasi komunitarian ini, penulis yakin bahwa masyarakat Rusia tidak akan canggung dan tidak akan tergagap menerima prinsip demokrasi. Jika demokrasi liberal gaya Amerika yang ditawarkan, maka ada rasa kebersamaan yang hilang. Memang, hak-hak individu lebih terakomodir, tapi kehidupan berkomunitas yang sekian tahun terbangun seolah kurang menemukan ruang yang memadai.

***

Demikianlah kisah pergulatan demokrasi masyarakat Rusia yang bersua dengan gaya demokrasi Amerika. Ada pertentangan tata nilai dan budaya, sampai akhirnya, Rusia menerima model demokrasi Amerika dan menjalankan keterbukaan politik.

Tidak ada komentar: