Februari 19, 2008

Lobang Hitam Dunia Pendidikan

Mahasiswa yang sedang menyelesaikan skripsi, lazimnya adalah mereka yang telah mengenyam bangku kuliah, paling tidak, dalam kurun 4 tahun atau 8 semester. Dalam rentang waktu tersebut, mahasiswa diidealkan telah memperoleh beragam teori dan metodologi penelitian agar mampu menyelesaikan tugas akhir berupa penulisan skripsi.
Tapi, apa lacur. Idealitas yang demikian tak selamanya terwujud sebagaimana diharapkan para pengajarnya. Seringkali, mahasiswa, dengan beragam alasan, baru bisa menyelesaikan studinya dalam jangka waktu 5-7 tahun. Artinya, ia membutuhkan masa yang tak pendek untuk mengunyah teori yang didapatnya.
Alasan yang mengemuka, biasanya, karena sibuk dengan aktifitas di luar sehingga banyak mata kuliah yang harus diulang sebagaimana yang dialami oleh aktifis kampus atau pergerakan. Selain itu, mahasiswa sering kali berkilah bahwa dirinya tidak hanya kuliah saja tapi juga bekerja hingga terkadang harus mengambil cuti.
Salahkah mereka? Tentu saja tidak. Semua itu adalah fenomena yang lazim ditemui di dunia perguruan tinggi kita. Namun demikian, dengan aturan yang mengharuskan seorang mahasiswa hanya mempunyai batas waktu sampai 14 semester atau 7 tahun membuat mereka dikejar-kejar pertanyaan yang seringkali datang dari orang tua, kapan mau lulus, nak? Jika demikian, maka hanya ada satu pilihan bagi mahasiswa, menyelesaikan skripsi atau tidak lulus sama sekali.
Fenomena biro jasa skripsi, sebagaimana diberitakan Suara Merdeka beberapa waktu lalu, menyuguhkan fakta betapa dunia pendidikan tinggi di Indonesia telah sebegitu mengenaskan. Karena ambisi ingin secepatnya lulus, acapkali seorang mahasiswa mengambil jalan pintas dan berpikir pendek, kenapa tidak memanfaatkan biro jasa skripsi saja, toh sulit dilacak.
Bagi penulis, jual-beli skripsi merupakan satu diantara beragam fakta tentang komersialisasi pendidikan di Indonesia. Tentu masyarakat pendidikan sepakat bahwa para pembuat skripsi yang sering bertopeng biro jasa skripsi hanya akan menciptakan sarjana karbitan dan output yang asal-asalan.
Selain itu, adanya mahasiswa yang ingin dibuatkan skripsi menunjukkan bahwa proses pendidikan yang berjalan di perguruan tinggi harus ditelaah ulang. Mengapa ia tidak mampu membentuk dan menanamkan nilai-nilai intelektual, seperti kejujuran dan tanggungjawab, pada pribadi mahasiswanya?
Proses pembelajaran di perguruan tinggi, seharusnya berjalan paralel dengan penanaman nilai-nilai intelektualitas. Biro jasa skripsi menunjukkan bahwa kedua hal itu berjalan tidak seiring. Proses pendidikan tetap berlangsung, tapi ia justru menindas dan jauh dari nilai-nilai intelektualitas yang jelas-jelas tidak mendapatkan tempat.
Skripsi, bagi mahasiswa, semestinya menjadi kebanggaan tersendiri. Ia tidak hanya menjadi tugas akhir dan jalan menuju gelar sarjana. Lebih dari itu, skripsi juga menjadi manifestasi intelektual yang bisa menjadi ukuran sejauhmana kapasitas intelektual seseorang.
Tak jarang, kita menemukan buku yang mulanya adalah skripsi. Dalam konteks ini, ada beberapa buku yang bisa ditunjukkan misalnya, H.M Misbach; Sosok dan Kontroversi Pemikirannya oleh Nor Hiqmah, mahasiswa pada Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta atau buku Film, Ideologi dan Militer; Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia yang ditulis Budi Irawanto, mahasiswa Fisipol UGM.
Adanya buku yang mulanya adalah skripsi, menyiratkan adanya pengakuan publik atas daya intelektual seseorang. Ini tenrtu dicapai dengan tidak mudah. Tapi, jika skripsi dibuatkan oleh orang lain, layakkah ia mendapat apresiasi dari masyarakat? tentu jawabannya tidak, sebaik apapun kualitas skripsi tersebut.

Akibat Mcdonaldisasi Perguruan Tinggi?
Bagi penulis, munculnya cerita-cerita tentang “joki-joki” yang siap membuatkan skripsi seorang mahasiswa, mengingatkan kita akan fenomena Mcdonaldisasi dalam dunia pendidikan di perguruan tinggi.
Istilah Mcdonaldisasi ini diperkenalkan oleh Heru Nugroho (2002). Menurutnya, ada empat ciri Mcdonaldisasi yang melanda perguruan tinggi kita, dan tidak menutup kemungkinan bahwa hal ini telah menjangkiti institusi-institusi pendidikan di negeri kita. Pertama, kuantifikasi, yakni ketika proses dan cara evalusasi hasil pendidikan hanya dilihat dari aspek kuantitas saja. Kedua, efisiensi, yaitu program studi yang dinilai menghasilkan uang akan semakin didorong dan difasilitasi, sedangkan yang kurang menghasilkan uang akan ditutup. Ketiga, prinsip keterprediksian, artinya kurikulum pendidikan harus mengacu pada kebutuhan pasar tenga kerja. Di sini, asas pendidikan untuk kesejahteraan rakyat semakin terabaikan, sebagai gantinya pendidikan dilaksanakan untuk mendukung pasar atau kapitalisme. Dan Keempat, prinsip teknologisasi, yaitu praktik pendidikan akan terselenggara dan sukses jika menggunakan dan didukung oleh teknologi tinggi atau hi-tech.
Adanya Mcdonaldisasi pendidikan yang melanda perguruan tinggi kita, tentu berimbas pada karakter mahasiswa yang mementingkan asal lulus dan mengabaikan proses pendidikan dan nilai-nilai ilmiah yang seharusnya dijalankan di perguruan tinggi.
Menjamurnya institusi pendidikan tinggi yang hanya memenuhi target untuk memberikan gelar kepada mahasiswanya, entah untuk menaikkan gaji atau sekedar cepat lulus agar segera memperoleh kerja, membuat mahasiswa juga berlomba-lomba mempercepat penulisan skripsi.
Bagi mereka yang pandai, hal ini tentu bukan masalah serius. Sebaliknya, bagi mereka yang modal pengetahuan dan kapasitas intelektualnya pas-pasan, tentu akan menoleh ke biro jasa skripsi. Dengan uang yang secukupnya, pergi ke tukang pembuat skripsi tentu lebih mengenakkan.

Lobang Hitam Dunia Pendidikan
Jasa penulisan skripsi, apapun alasannya, tentu tak bisa dibenarkan. Dalam konteks pemikiran Paulo Freire, ini bisa disebut sebagai penindasan mereka yang kuat terhadap mereka yang lemah. Penindasan ini terjadi atas kuasa pengetahuan seseorang secara tidak langsung.
Bagi penulis, fakta-fakta pendidikan semacam ini layak disebut sebagai lobang hitam pendidikan. Sistem pendidikan perguruan tinggi, dengan kurikulum yang dibangga-banggakan itu, ternyata hanya menghasilkan lobang-lobang yang tidak disadari oleh pengelolanya.
Bisnis di bidang jasa pembuatan skripsi telah memunculkan simbiosis mutualisme diantara pihak-pihak yang berkepentingan. Bagi si pembuat, dengan kepandaiannya, ia bisa “melacurkan” diri dengan membuatkan skripsi dan menerima uang yang cukup lumayan dalam waktu relatif singkat dan modal yang ala kadarnya. Bagi konsumen, tentu ia bisa berleha-leha dan tinggal menerima tugas akhir dengan hanya bermodalkan uang 1-2 juta rupiah.
Yang lebih ironi, penulis bahkan pernah menjumpai seorang kawan yang mendapatkan “pesanan” dari seseorang untuk dibuatkan tesis. Lho? Begitulah kenyataannya. Kawan penulis tadi ternyata tidak sekedar menerima “kue” bernama skripsi, tapi tesis pun mampu diolahnya.
Inikah lembah hitam dunia pendidikan Indonesia?

Modal Awal 17 Juta (Sambung Cerita Radio Komunitas)

Selain itu, lanjut Sukoco, adanya radio sebagai media informasi adalah bagian dari pemenuhan hak informasi masyarakat yang harus dipenuhi oleh negara.Sukoco berkisah, ketika hendak mendirikan radio komunitas ini, pihaknya menggelar sarasehan warga. Hal ini dilakukan karena Sukoco ingin bahwa masyarakat tahu fungsi dan manfaat dari radio komunitas. Dengan pelibatan warga, Sukoco berharap warga merasa ikut memiliki.
Harapan Sukoco berbuah manis. Masyarakat bergotong royong membangun radio yang membutuhkan modal awal sebesar 17 juta. Masyarakat memberikan sumbangan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Setelah berhasil mengudara, pengelola radio komunitas ini akhirnya memutar siaran selama satu malam dan mendapat respon yang baik dari masyarakat.
Tiga bulan setelah radio di-launching, pemerintah pusat mengeluarkan UU 32 tahun 2002 tentang penyiaran yang membagi siaran radio menjadi tiga; publik, komunitas, dan swasta. Dan radio Wiladeg akhirnya memilih menjadi radio komunitas.
Pada tahun 2005, PP No. 51 tahun 2005 tentang penyiaran baru dikeluarkan. Di dalam PP tersebut diatur bahwa kepemilikan radio komunitas harus dimiliki komunitas. Pemdes Wiladeg lalu mengusahakan legalitas radio tersebut dengan bergabung di Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta (JRKY), serta membuat akte notaris dengan biaya 100 ribu dan dukungan 250 orang jiwa. Sampai sekarang, kata Sukoco, keberadaan radio komunitas tetap terjaga meskipun pengelola radionya tidak digaji.
Untuk membiayai operasional radio komunitas tersebut, sejak tahun 2003 desa mengalokasikan dana APBDes sebesar 2,5 juta. Alokasi dana ini untuk membeli dan memperbaiki peralatan.
Radio komunitas di Wiladeg ini menggunakan 2,5 kilo dengan batasan mesin 50 watt, tinggi antene sekitar 32 meter, dan alat-alatnya adalah rakitan. Supaya tidak bertabrakan dengan frekuensi lain, pengelola radio memakai pengunci frekuensi. Kalau menabrak frekuensi TV, maka diperbaiki terlebih dulu dan radio komunitas of air terlebih dulu. ”Soal ijin regulasi, pengelola radio sudah ajukan ijin ke Komite Penyiaran Indonesia (KPI),” tegas Sukoco.
Pada kesempatan diskusi, ada beberapa pertanyaan yang diajukan peserta. Rasidi, misalnya, menanyakan lebih jauh soal program siaran wayang kulit dan wungon selapaman. Lalu Sukri menanyakan, apakah radio komunitas bisa dipakai untuk kegiatan-kegiatan politis, misalnya kampanye calon pejabat. Lain lagi dengan Iskandar. Ia bertanya soal bagaimana cara menumbuhkan kecintaan masyarakat pada radio komunitas.
Atas beragam pertanyaan tersebut, Sukoco memberi respon yang cukup hangat. Terkait wungon selapanan, Wungan adalah aktivitas begadang yang dilakukan secara rutin pada malam Jum’at Kliwon. Acaranya bukan hanya begadang tapi ada sarasehan budaya dan menampilkan budaya tradisional kerawitan. Pesertanya sekitar 150 orang. Pemdes Wiladeg berharap dengan adanya sarasehan ini muncul ide membuat Wiladeg sebagai desa budaya. Biaya untuk wungon selapanan ini sudah dianggarkan di APBDes yang mencapai 8-10 juta/tahun.
Soal pendengar radio, dengan setengah berkelakar, Sukoco menjawab bahwa pengelola radio komunitas di Wiladeg tidak mempunyai siaran radio yang tidak disukai masyarakat. “Ini karena acara yang ada adalah acaranya pendengar,” imbuh Sukoco. Artinya, format acara yang ditampilkan di radio komunitas memang dibuat oleh masyarakat. Itulah kenapa sampai sekarang radio ini tidak pernah berhenti bersiaran karena masyarakat sangat menyenangi siaran radio.
Program radio yang disusun sangat beragam. Ada program siaran musik baik lagu dangdut, lagu lama dan campur sari. Di sela-sela lagu tersebut bisa disisipkan informasi yang disampaikan oleh masyarakat. Masyarakat yang menyampaikan informasi ini tidak dipungut, misalnya ada informasi kehilangan barang.
Mengenai program siaran yang bersifat politis, misalnya kampanye calon, maka ini belum bisa diterima dan disiarkan di radio komunitas. Dengan catatan bahwa program siaran tersebut hanya dilakukan satu pihak saja. Kalau program kampanye dilakukan secara berbarengan, maka hal ini tidak dipermasalahkan. Sukoco menegaskan bahwa jika hanya untuk kepentingan satu calon saja, maka pemdes Wiladeg akan menolak. Maksud berbarengan ini tidak harus dalam waktu yang sama, tapi bisa bergantian. Yang penting setiap calon mendapat porsi yang sama.
Peran komunitas juga terlihat ketika pemilihan kepala desa atau kepala dukuh. Sistem yang dipakai adalah sistem komputerisasi. Salah satu data yang ditampilkan adalah angka kehadiran pemilih. Jadi, ketika penutupan pencoblosan, masyarakat tahu berapa jumlah pemilih yang menggunakan hak suaranya. ”Karena itu, masyarakat tidak akan dbohongi oleh panitia,” ujar Sukoco.
Ke depan, kata Sukoco, Pemdes Wiladeg yakin bahwa eksistensi radio komunitas akan semakin kuat. Di akhir pemaparan, Sukoco mengatakan bahwa hanya radio komunitas yang bisa menjawab kepentingan masyarakat dan komunitas.