Oktober 26, 2007

Gerakan Islam dalam Lipatan Asas Tunggal; Studi atas NU di Era 1970-1980-an

Sekedar Pengantar
Salah satu dampak penetrasi Barat ke Dunia Islam adalah menyangkut konsep dan sistem politik kenegaraan. Konsep dari Barat, misalnya nation-state, tidak saja asing, tapi juga a-historis bagi sebagian muslim.[1] Pada gilirannya, hal ini memunculkan problem tersendiri ketika hendak memasuki wilayah konsep dan praksis penyelenggaraan negara. Problem ini menjadi kian kentara karena memunculkan dilema kepatuhan di level masyarakat, kepada negara dan atau agama. Sebagai warga negara, ia harus mematuhi konstitusi yang digariskan. Di sisi lain, sebagai umat beragama, ia memanggul mandat menjalankan dan meyakini agamanya dalam kondisi apapun.
Dalam konteks dilema kepatuhan tersebut, menjadi kian runcing persoalannya ketika negara mengharuskan adanya ideologi atau asas tunggal[2] bagi warga negaranya, terutama dalam berorganisasi. Indonesia misalnya. Pada tahun 1983, Pancasila ditetapkan oleh MPR sebagai satu-satunya asas untuk semua organisasi sosial dan politik. Tak pelak, keputusan ini menjadi babak baru dunia ke-ormas-an bagi masyarakat Indonesia. Konsekwensinya, semua organisasi sosial-politik di Indonesia, tak terkecuali NU, harus bersiap diri menyesuaikan kebijakan tersebut.[3]
Keputusan ini menjadi kian kuat ketika tahun 1985, Pemerintahan Soeharto mengesahkan UU No. 8/1985 tentang Ormas dan diikuti dengan PP No. 18/1986, yang menyatakan bahwa semua organisasi sosial, agama, dan politik harus menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas ideologis dan filosofis mereka. Bagi organisasi yang menolak memasukkan Pancasila dalam AD/ART atau piagam, akan dilarang oleh pemerintah.[4]
Dalam konteks Islam dan Negara-Bangsa, menjadi menarik untuk membahas pergolakan NU dalam merespon kebijakan pemerintah khususnya pemberlakuan asas tunggal (disingkat astung) bagi semua organisasi, dan bagaimana gerakan NU pasca Khittah dan menerima astung. Pilihan terhadap NU, karena organisasi inilah yang pertama kali menerima Pancasila sebagai astung.[5] Dengan begitu, ia memengaruhi dan menjadi cermin organisasi lain ketika menyikapi Pancasila sebagai astung.
[1] Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam; dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 10
[2] Asas tunggal merupakan prinsip yang terdapat dalam ideologi nasional, Pancasila, yang diberlakukan sebagai asas tunggal bagi semua partai politik dan organisasi massa pada tahun 1985. lihat Daftar Kata dalam Andrée Feillard, NU vis a vis Negara; Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, terj. Lesmana, (Yogykarta: LKiS, 1999), hal. 457
[3] Keputusan ini dituangkan dalam Ketetapan MPR No. II/MPR/1983 Tentang GBHN. Einar M. Sitompul, NU dan Pancasila, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989), hal. 24
[4] Pengesahan UU ini melewati perdebatan panas. Berbagai organisasi, terutama organisasi agama, khawatir bahwa dengan mengambil Pancasila sebagai astung (satu-satunya dasar ideologis), akan mengurangi integritas, kebebasan organisasi mereka, dan bahkan mengganti raison d’etre dengan ideologi sekuler. Douglas E. Ramage, Percaturan Politik Di Indonesia; Demokrasi, Islam dan Ideologi Toleransi, terj: Hartono Hadikusumo, (Yogyakarta: Matabangsa, 2002), hal. 5-6. Utusan NU di parlemen bahkan pernah walk out ketika DPR menyidangkan Pancasila sebagai indoktrinasi ideologi resmi. Martin van Bruinessen, NU; Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, terj. Farid Wajidi, (Yogyakarta: LKiS, 1994), hal. 4
[5] Tentang hal ini Mahbub Junaidi menyatakan, NU justru punya daya lentur dan menyambut kedinamisan sebagai hukum obyektif yang tak perlu ditentang, tapi digandeng supaya lempang jalannya. Mahbub Junaidi, “Pengantar Penerbitan,” dalam PBNU, Nahdlatul Ulama Kembali ke Khittah 1926, (Bandung: Risalah, 1985), hal. 1

Tulisan diatas hanya sebagian kecil dari buku Pergumulan tak Kunjung Usai; Islam dan Negara-Bangsa di Indonesia diterbitkan oleh Politeia Press Yogyakarta (editor; M. Zainal Anwar dan A. Saifuddin/Februari/2007).

Tidak ada komentar: