September 25, 2008

Jelajah Adelaide





Tak terasa sudah hampir 1 bulan di Adelaide, ibukota negara bagian South Australia. sejak mendarat pada hari kamis (28 Agustus) di Sydney lalu terbang ke Adelaide, tak terbayangkan jika saya sudah berkeliling ke beberapa wilayah terpencil di kota yang berpenduduk sekitar 1,2 juta. paling tidak, sesuai peta yang saya lihat, wilayah Adelaide bagian selatan dan utara sudah saya singgahi.





Tak heran jika nama-nama kayak Lobethal, Birdwood, Pooraka, Hanndroof atau One Tree Hill tiba-tiba menjadi akrab di telinga. Nama-nama seperti Kaliurang, jalan Magelang atau Denggung bahkan Ringinputih seperti lenyap dari memori. Dengan rencana 1,8 tahun tinggal di Adelaide, saya memang harus belajar mengenal Adelaide. Salah satu caranya dengan jalan-jalan tentunya. Sembari melihat keindahan kota Adelaide, baik wilayah kota maupun desanya. Yang saya cermati, baik wilayah desa maupun kotanya tidak terlalu jauh berbeda mencolok.



Ya, kesempatan ini tak saya sia-siakan untuk melihat dari dekat daerah "pedalaman" dari Adelaide. Hamparan padang rumput yang begitu luas banyak dimanfaatkan penduduk untuk beternak sapi atau biri-biri dan sebangsanya. Selain itu, jarak antara satu penduduk dan penduduk yang lain juga tidak terlalu padat. Hal ini memungkinkan tiap orang untuk memiliki lahan yang luas. Tidak heran jika satu orang penduduk hampir rata-rata memiliki rumah yang rada besar, lalu lahan untuk beternak dan terkadang juga kebun anggur atau strawberi. Tapi, untuk saat sekarang memang baru mau masuk musim semi, jadi kebun anggur, apel atau strawberi belum berbuah. Untuk musim dingin, antara Juni hingga September, biasanya para penduduk Adelaide memanfaatkannya untuk menanam pohon. Ya, semacam penghijauan atas lahan-lahan yang terlihat gundul. Oh ya, gundulnya hutan di Adelaide ini sebetulnya lebih banyak karena faktor alam. Artinya, banyak pohon yang tumbang karena terkena hembusan angin yang gede dan cuaca yang dingin banget. Jadi, tidak melulu karena ditebangi oleh manusia. Kalau ingat tebang menebang pohon di hutan, jadi ingat negeri sendiri, he he he...

September 18, 2008

Ramadhan Kaum Minoritas

Terhitung sudah 12 hari saya menjalani puasa di Australia. Negeri yang sering dijuluki negeri kangguru ini tak pelak memberi nuansa dan pengalaman berbeda dalam menjalani ibadah puasa. Hal ini tak bisa dihindari mengingat jumlah umat Islam, terutama di Adelaide-South Australia di mana saya tinggal, terhitung minoritas. Hingga saya menulis, saya masih belum bisa memperoleh informasi jumlah umat Islam di Adelaide maupun di Australia secara keseluruhan. Sebagai gambaran, pelaksanaan sholat Jumat sejauh ini baru saya temukan hanya di sebuah common room di kompleks Flinders University. Common room merupakan ruang yang disediakan pihak kampus sebagai tempat pelaksanaan ibadah semua agama. Jamaah sholat jumat sebagian besar diisi orang asal Indonesia.

Di negeri macam Indonesia, di mana penduduknya mayoritas beragama Islam, menjalankan puasa Ramadhan seperti sebuah hajatan besar. Hampir di tiap sudut kota kita bisa menemukan ucapan selamat menjalankan ibadah puasa. Tak hanya itu, hampir semua media, baik cetak maupun televisi, mengubah format acaranya dengan liputan atau tayangan bernuansa religi. Belum lagi tiap sore di sudut jalan atau perempatan, kita hampir bisa menemukan penjaja makanan kecil atau kolak untuk sekedar menjadi makanan pembuka saat maghrib tiba. Pada waktu sahur pun, suasana lebih ramai ketika sekelompok anak muda berkeliling menabuh kentongan untuk membangunkan mereka yang hendak makan sahur.

Tidak sebagaimana di Indonesia, menjalankan ibadah puasa di negeri yang bisa dikatakan menempatkan agama atau keyakinan seseorang sebagai sesuatu yang privat, menjadi begitu individual. Individualitas dalam beragama bisa dimaknai sebagai upaya menjalankan ibadah dengan lebih mengandalkan kemandirian. Waktu untuk berbuka atau sahur tidak bisa lagi mengandalkan suara adzan, tabuhan bedug atau bunyi sirine dari masjid, tetapi harus melihat jam yang ada di rumah masing-masing. Tidak ada pula penjual kolak di perempatan jalan atau orang berkumpul di pusat kota untuk menanti waktu berbuka. Istilahnya ngabuburit. Di Australia, orang menanti berbuka puasa di rumah masing-masing. Kalaupun ada buka puasa bersama, cenderung dilakukan di kampus dan dalam jumlah yang terbatas.
***
Di Indonesia, ibadah yang dilakukan, baik puasa Ramadhan atau sholat, seringkali mengandalkan institusi masjid untuk menerima adanya penanda waktu sholat atau waktu berbuka. Hal ini tentu tidak bisa lagi diandalkan di negeri macam Australia. Waktu untuk sholat dan ibadah yang lainnya lebih banyak mengandalkan jadwal sholat yang bisa diambil dari situs islamicfinder.org. Dari situs inilah, saya menemukan penanda waktu sholat, berbuka hingga sahur.

Akan tetapi, justru disinilah makna puasa, bahkan mungkin ibadah-ibadah lainnya, menjadi lebih terlihat. Ketika kita menjalankan ibadah sebagai umat mayoritas, dengan atau tanpa sengaja, kita seolah meminta pemakluman orang lain yang tidak seagama untuk menghormati apa yang sedang kita jalankan. Terkadang, upaya pemakluman ini dilakukan dengan cara kekerasan. Tentu kita ingat adanya sekelompok orang yang menyerang tempat hiburan dan meminta pemiliknya untuk menutup lokasi usaha tersebut selama bulan Ramadhan. Alasannya, untuk menghormati orang yang menjalankan ibadah puasa. Hal ini menyiratkan adanya “pemaksaan” bahwa orang lain harus memahami ibadah yang kita jalankan.

Dalam konteks tersebut, rasa hormat yang dilakukan orang lain yang tidak seagama kepada umat Islam yang sedang menjalankan ibadah puasa, misalnya, bukan lagi dilandasi pada penghormatan atas ibadah yang kita jalankan, akan tetapi karena rasa takut sebagai minoritas yang harus menghormati apa yang sedang dilakukan oleh kaum mayoritas.

Kultur mayoritas sering membuat orang menjadi egois dan kurang mempedulikan apalagi menghormati keyakinan orang yang berbeda. Memang tidak semua orang yang merasa diri sebagai mayoritas menjadi mau menang sendiri. Harus diakui pula, ada orang atau komunitas yang berada dalam payung mayoritas tapi tetap bisa menghormati bahkan melindungi kelompok lain yang minoritas. Akan tetapi pada umumnya, budaya kelompok mayoritas sering kali merasa harus menguasi dan memenangi segalanya.

Saya lalu teringat sebuah peristiwa beberapa tahun silam ketika masih menimba ilmu di Yogyakarta. Waktu itu, saya mengontrak rumah dengan beberapa teman yang sama-sama kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri di Yogyakarta. Mereka ada yang berasal dari Banyuwangi, Semarang dan ada pula yang dari Sunda. Nah, waktu bulan puasa, salah seorang teman saya yang berasal dari Sunda menyimpan setumpukan pamflet di kamarnya. Tanpa sengaja, ketika saya dan teman-teman yang lain berada di kamarnya dan membaca tulisan dalam pamflet tersebut, saya cukup terperangah. Tulisannya kurang lebih; Hormati Bulan Puasa. Dilarang Berjualan Makanan dan Minuman pada Waktu Siang Hari.

Tidak ada yang salah dalam pamflet tersebut. Orang sah-sah saja membuat himbauan atau nasehat. Tetapi, dalam ruang publik, orang seharusnya menghormati orang lain yang tidak seagama yang notabene tidak berpuasa dalam bulan Ramadhan. Secara otomatis, mereka pun butuh makan dan minum dan kadang kala hal itu bisa terpenuhi dengan membeli di warung makan, misalnya.

Sebagai minoritas yang sedang menjalankan ibadah puasa di negeri yang mayoritas tidak beragama Islam, ada pengalaman, pelajaran dan tantangan. Saya menjadi terbiasa bersanding dengan orang yang makan dan minum di tempat umum. Ketika sedang berada di halte dan menunggu bis, misalnya, walaupun sedang berpuasa dan kebetulan cuaca di Adelaide mulai masuk musim panas, saya tidak merasa dilecehkan ketika ada orang makan dan minum.

Pun, keberagamaan saya tidak berkurang nilainya ketika orang dengan seenaknya makan dan minum ketika saya berpuasa. Boleh jadi karena mereka tidak tahu bahwa saya sedang berpuasa di mana saya tidak boleh makan dan minum pada waktu siang hari hingga saat maghrib tiba. Saya pun teringat dengan ajaran agama yang intinya mengajarkan pada kita bahwa janganlah memarahi atau mengatakan sesuatu yang jelek pada orang lain karena mereka tidak tahu apa yang kita lakukan. Niscaya mereka akan melakukan hal yang lebih buruk.

Mengingat ajaran ini, saya tidak perlu repot-repot pasang pamflet untuk melarang orang berjualan makanan dan minuman pada waktu bulan Ramadhan atau beramai-ramai mendatangi klub hiburan dan meminta mereka untuk menutupnya selama bulan Ramadhan. Saya yakin, penghormatan mereka atas kita tidak akan muncul dengan sepenuh hati.

bisa dilihat di http://lkis.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=36&Itemid=3

Februari 19, 2008

Lobang Hitam Dunia Pendidikan

Mahasiswa yang sedang menyelesaikan skripsi, lazimnya adalah mereka yang telah mengenyam bangku kuliah, paling tidak, dalam kurun 4 tahun atau 8 semester. Dalam rentang waktu tersebut, mahasiswa diidealkan telah memperoleh beragam teori dan metodologi penelitian agar mampu menyelesaikan tugas akhir berupa penulisan skripsi.
Tapi, apa lacur. Idealitas yang demikian tak selamanya terwujud sebagaimana diharapkan para pengajarnya. Seringkali, mahasiswa, dengan beragam alasan, baru bisa menyelesaikan studinya dalam jangka waktu 5-7 tahun. Artinya, ia membutuhkan masa yang tak pendek untuk mengunyah teori yang didapatnya.
Alasan yang mengemuka, biasanya, karena sibuk dengan aktifitas di luar sehingga banyak mata kuliah yang harus diulang sebagaimana yang dialami oleh aktifis kampus atau pergerakan. Selain itu, mahasiswa sering kali berkilah bahwa dirinya tidak hanya kuliah saja tapi juga bekerja hingga terkadang harus mengambil cuti.
Salahkah mereka? Tentu saja tidak. Semua itu adalah fenomena yang lazim ditemui di dunia perguruan tinggi kita. Namun demikian, dengan aturan yang mengharuskan seorang mahasiswa hanya mempunyai batas waktu sampai 14 semester atau 7 tahun membuat mereka dikejar-kejar pertanyaan yang seringkali datang dari orang tua, kapan mau lulus, nak? Jika demikian, maka hanya ada satu pilihan bagi mahasiswa, menyelesaikan skripsi atau tidak lulus sama sekali.
Fenomena biro jasa skripsi, sebagaimana diberitakan Suara Merdeka beberapa waktu lalu, menyuguhkan fakta betapa dunia pendidikan tinggi di Indonesia telah sebegitu mengenaskan. Karena ambisi ingin secepatnya lulus, acapkali seorang mahasiswa mengambil jalan pintas dan berpikir pendek, kenapa tidak memanfaatkan biro jasa skripsi saja, toh sulit dilacak.
Bagi penulis, jual-beli skripsi merupakan satu diantara beragam fakta tentang komersialisasi pendidikan di Indonesia. Tentu masyarakat pendidikan sepakat bahwa para pembuat skripsi yang sering bertopeng biro jasa skripsi hanya akan menciptakan sarjana karbitan dan output yang asal-asalan.
Selain itu, adanya mahasiswa yang ingin dibuatkan skripsi menunjukkan bahwa proses pendidikan yang berjalan di perguruan tinggi harus ditelaah ulang. Mengapa ia tidak mampu membentuk dan menanamkan nilai-nilai intelektual, seperti kejujuran dan tanggungjawab, pada pribadi mahasiswanya?
Proses pembelajaran di perguruan tinggi, seharusnya berjalan paralel dengan penanaman nilai-nilai intelektualitas. Biro jasa skripsi menunjukkan bahwa kedua hal itu berjalan tidak seiring. Proses pendidikan tetap berlangsung, tapi ia justru menindas dan jauh dari nilai-nilai intelektualitas yang jelas-jelas tidak mendapatkan tempat.
Skripsi, bagi mahasiswa, semestinya menjadi kebanggaan tersendiri. Ia tidak hanya menjadi tugas akhir dan jalan menuju gelar sarjana. Lebih dari itu, skripsi juga menjadi manifestasi intelektual yang bisa menjadi ukuran sejauhmana kapasitas intelektual seseorang.
Tak jarang, kita menemukan buku yang mulanya adalah skripsi. Dalam konteks ini, ada beberapa buku yang bisa ditunjukkan misalnya, H.M Misbach; Sosok dan Kontroversi Pemikirannya oleh Nor Hiqmah, mahasiswa pada Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta atau buku Film, Ideologi dan Militer; Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia yang ditulis Budi Irawanto, mahasiswa Fisipol UGM.
Adanya buku yang mulanya adalah skripsi, menyiratkan adanya pengakuan publik atas daya intelektual seseorang. Ini tenrtu dicapai dengan tidak mudah. Tapi, jika skripsi dibuatkan oleh orang lain, layakkah ia mendapat apresiasi dari masyarakat? tentu jawabannya tidak, sebaik apapun kualitas skripsi tersebut.

Akibat Mcdonaldisasi Perguruan Tinggi?
Bagi penulis, munculnya cerita-cerita tentang “joki-joki” yang siap membuatkan skripsi seorang mahasiswa, mengingatkan kita akan fenomena Mcdonaldisasi dalam dunia pendidikan di perguruan tinggi.
Istilah Mcdonaldisasi ini diperkenalkan oleh Heru Nugroho (2002). Menurutnya, ada empat ciri Mcdonaldisasi yang melanda perguruan tinggi kita, dan tidak menutup kemungkinan bahwa hal ini telah menjangkiti institusi-institusi pendidikan di negeri kita. Pertama, kuantifikasi, yakni ketika proses dan cara evalusasi hasil pendidikan hanya dilihat dari aspek kuantitas saja. Kedua, efisiensi, yaitu program studi yang dinilai menghasilkan uang akan semakin didorong dan difasilitasi, sedangkan yang kurang menghasilkan uang akan ditutup. Ketiga, prinsip keterprediksian, artinya kurikulum pendidikan harus mengacu pada kebutuhan pasar tenga kerja. Di sini, asas pendidikan untuk kesejahteraan rakyat semakin terabaikan, sebagai gantinya pendidikan dilaksanakan untuk mendukung pasar atau kapitalisme. Dan Keempat, prinsip teknologisasi, yaitu praktik pendidikan akan terselenggara dan sukses jika menggunakan dan didukung oleh teknologi tinggi atau hi-tech.
Adanya Mcdonaldisasi pendidikan yang melanda perguruan tinggi kita, tentu berimbas pada karakter mahasiswa yang mementingkan asal lulus dan mengabaikan proses pendidikan dan nilai-nilai ilmiah yang seharusnya dijalankan di perguruan tinggi.
Menjamurnya institusi pendidikan tinggi yang hanya memenuhi target untuk memberikan gelar kepada mahasiswanya, entah untuk menaikkan gaji atau sekedar cepat lulus agar segera memperoleh kerja, membuat mahasiswa juga berlomba-lomba mempercepat penulisan skripsi.
Bagi mereka yang pandai, hal ini tentu bukan masalah serius. Sebaliknya, bagi mereka yang modal pengetahuan dan kapasitas intelektualnya pas-pasan, tentu akan menoleh ke biro jasa skripsi. Dengan uang yang secukupnya, pergi ke tukang pembuat skripsi tentu lebih mengenakkan.

Lobang Hitam Dunia Pendidikan
Jasa penulisan skripsi, apapun alasannya, tentu tak bisa dibenarkan. Dalam konteks pemikiran Paulo Freire, ini bisa disebut sebagai penindasan mereka yang kuat terhadap mereka yang lemah. Penindasan ini terjadi atas kuasa pengetahuan seseorang secara tidak langsung.
Bagi penulis, fakta-fakta pendidikan semacam ini layak disebut sebagai lobang hitam pendidikan. Sistem pendidikan perguruan tinggi, dengan kurikulum yang dibangga-banggakan itu, ternyata hanya menghasilkan lobang-lobang yang tidak disadari oleh pengelolanya.
Bisnis di bidang jasa pembuatan skripsi telah memunculkan simbiosis mutualisme diantara pihak-pihak yang berkepentingan. Bagi si pembuat, dengan kepandaiannya, ia bisa “melacurkan” diri dengan membuatkan skripsi dan menerima uang yang cukup lumayan dalam waktu relatif singkat dan modal yang ala kadarnya. Bagi konsumen, tentu ia bisa berleha-leha dan tinggal menerima tugas akhir dengan hanya bermodalkan uang 1-2 juta rupiah.
Yang lebih ironi, penulis bahkan pernah menjumpai seorang kawan yang mendapatkan “pesanan” dari seseorang untuk dibuatkan tesis. Lho? Begitulah kenyataannya. Kawan penulis tadi ternyata tidak sekedar menerima “kue” bernama skripsi, tapi tesis pun mampu diolahnya.
Inikah lembah hitam dunia pendidikan Indonesia?

Modal Awal 17 Juta (Sambung Cerita Radio Komunitas)

Selain itu, lanjut Sukoco, adanya radio sebagai media informasi adalah bagian dari pemenuhan hak informasi masyarakat yang harus dipenuhi oleh negara.Sukoco berkisah, ketika hendak mendirikan radio komunitas ini, pihaknya menggelar sarasehan warga. Hal ini dilakukan karena Sukoco ingin bahwa masyarakat tahu fungsi dan manfaat dari radio komunitas. Dengan pelibatan warga, Sukoco berharap warga merasa ikut memiliki.
Harapan Sukoco berbuah manis. Masyarakat bergotong royong membangun radio yang membutuhkan modal awal sebesar 17 juta. Masyarakat memberikan sumbangan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Setelah berhasil mengudara, pengelola radio komunitas ini akhirnya memutar siaran selama satu malam dan mendapat respon yang baik dari masyarakat.
Tiga bulan setelah radio di-launching, pemerintah pusat mengeluarkan UU 32 tahun 2002 tentang penyiaran yang membagi siaran radio menjadi tiga; publik, komunitas, dan swasta. Dan radio Wiladeg akhirnya memilih menjadi radio komunitas.
Pada tahun 2005, PP No. 51 tahun 2005 tentang penyiaran baru dikeluarkan. Di dalam PP tersebut diatur bahwa kepemilikan radio komunitas harus dimiliki komunitas. Pemdes Wiladeg lalu mengusahakan legalitas radio tersebut dengan bergabung di Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta (JRKY), serta membuat akte notaris dengan biaya 100 ribu dan dukungan 250 orang jiwa. Sampai sekarang, kata Sukoco, keberadaan radio komunitas tetap terjaga meskipun pengelola radionya tidak digaji.
Untuk membiayai operasional radio komunitas tersebut, sejak tahun 2003 desa mengalokasikan dana APBDes sebesar 2,5 juta. Alokasi dana ini untuk membeli dan memperbaiki peralatan.
Radio komunitas di Wiladeg ini menggunakan 2,5 kilo dengan batasan mesin 50 watt, tinggi antene sekitar 32 meter, dan alat-alatnya adalah rakitan. Supaya tidak bertabrakan dengan frekuensi lain, pengelola radio memakai pengunci frekuensi. Kalau menabrak frekuensi TV, maka diperbaiki terlebih dulu dan radio komunitas of air terlebih dulu. ”Soal ijin regulasi, pengelola radio sudah ajukan ijin ke Komite Penyiaran Indonesia (KPI),” tegas Sukoco.
Pada kesempatan diskusi, ada beberapa pertanyaan yang diajukan peserta. Rasidi, misalnya, menanyakan lebih jauh soal program siaran wayang kulit dan wungon selapaman. Lalu Sukri menanyakan, apakah radio komunitas bisa dipakai untuk kegiatan-kegiatan politis, misalnya kampanye calon pejabat. Lain lagi dengan Iskandar. Ia bertanya soal bagaimana cara menumbuhkan kecintaan masyarakat pada radio komunitas.
Atas beragam pertanyaan tersebut, Sukoco memberi respon yang cukup hangat. Terkait wungon selapanan, Wungan adalah aktivitas begadang yang dilakukan secara rutin pada malam Jum’at Kliwon. Acaranya bukan hanya begadang tapi ada sarasehan budaya dan menampilkan budaya tradisional kerawitan. Pesertanya sekitar 150 orang. Pemdes Wiladeg berharap dengan adanya sarasehan ini muncul ide membuat Wiladeg sebagai desa budaya. Biaya untuk wungon selapanan ini sudah dianggarkan di APBDes yang mencapai 8-10 juta/tahun.
Soal pendengar radio, dengan setengah berkelakar, Sukoco menjawab bahwa pengelola radio komunitas di Wiladeg tidak mempunyai siaran radio yang tidak disukai masyarakat. “Ini karena acara yang ada adalah acaranya pendengar,” imbuh Sukoco. Artinya, format acara yang ditampilkan di radio komunitas memang dibuat oleh masyarakat. Itulah kenapa sampai sekarang radio ini tidak pernah berhenti bersiaran karena masyarakat sangat menyenangi siaran radio.
Program radio yang disusun sangat beragam. Ada program siaran musik baik lagu dangdut, lagu lama dan campur sari. Di sela-sela lagu tersebut bisa disisipkan informasi yang disampaikan oleh masyarakat. Masyarakat yang menyampaikan informasi ini tidak dipungut, misalnya ada informasi kehilangan barang.
Mengenai program siaran yang bersifat politis, misalnya kampanye calon, maka ini belum bisa diterima dan disiarkan di radio komunitas. Dengan catatan bahwa program siaran tersebut hanya dilakukan satu pihak saja. Kalau program kampanye dilakukan secara berbarengan, maka hal ini tidak dipermasalahkan. Sukoco menegaskan bahwa jika hanya untuk kepentingan satu calon saja, maka pemdes Wiladeg akan menolak. Maksud berbarengan ini tidak harus dalam waktu yang sama, tapi bisa bergantian. Yang penting setiap calon mendapat porsi yang sama.
Peran komunitas juga terlihat ketika pemilihan kepala desa atau kepala dukuh. Sistem yang dipakai adalah sistem komputerisasi. Salah satu data yang ditampilkan adalah angka kehadiran pemilih. Jadi, ketika penutupan pencoblosan, masyarakat tahu berapa jumlah pemilih yang menggunakan hak suaranya. ”Karena itu, masyarakat tidak akan dbohongi oleh panitia,” ujar Sukoco.
Ke depan, kata Sukoco, Pemdes Wiladeg yakin bahwa eksistensi radio komunitas akan semakin kuat. Di akhir pemaparan, Sukoco mengatakan bahwa hanya radio komunitas yang bisa menjawab kepentingan masyarakat dan komunitas.

Januari 23, 2008

Radio Komunitas di Wiladeg

Menjelang akhir tahun 2007 lalu, saya mendapat kesempatan jalan-jalan ke desa Wiladeg-Gunungkidul. Walau terletak di wilayah Gunungkidul yang rada jauh dari "peradaban", tapi soal kreasi dan inovasi yang dilakukan sangat mumpuni, salah satunya membuat radio komunitas untuk mengefektifkan penyelenggaraan pemerintahan desa.
kehadiran saya di Wiladeg tidaklah sendirian. Bersama para camat dari Kab. Aceh Besar, saya mengajak mereka berdiskusi soal manfaat radio komunitas bagi masyarakat desa. simak kisahnya berikut ini. karena cukup panjang, saya buat cerita ini berseri.
Radio komunitas, biasanya dibuat sebagai sarana komunikasi diantara kelompok masyarakat. Pembicaraan yang terjadi tentu seputar kegiatan yang berlangsung pada kelompok masyarakat tadi. Dengan kata lain, radio komunitas telah berkembang menjadi arena untuk interaksi untuk berkomunikasi diantara kelompok masyarakat, baik sebagai sarana untuk mensosialisasikan aktivitas kelompok maupun untuk memecahkan persoalan yang terjadi di kelompok tersebut.
Dalam perkembangannya, radio komunitas tidak lagi hanya dimanfaatkan kelompok masyarakat. Ia juga dipakai pemerintah desa (Pemdes) sebagai sarana komunikasi antara pemerintah dan masyarakat desa. Salah satunya adalah radio komunitas adalah yang dimiliki Pemdes Wiladeg-Gunungkidul. Oleh pemdes Wiladeg, radio komunitas ini bisa mengatasi kendala komunikasi di desa sekaligus dimanfaatkan untuk media partisipasi dan transparansi dinamika pemerintahan kepada warga desa.
Pertengahan Desember tahun silam, tepatnya 13 Desember 2007, IRE Yogyakarta dan pemerintah kabupaten Aceh Besar bekerjasama menggelar diskusi tentang konsep dan implementasi radio komunitas di desa Wiladeg-Gunungkidul-Yogyakarta.
Diskusi yang bertempat di kompleks pemerintahan desa Wiladeg-Karangmojo, kabupaten Gunungkidul-Yogyakarta ini diikuti oleh staf pemerintah desa Wiladeg, camat, sekretaris camat dan staf dari pemerintah kabupaten Aceh Besar dengan narasumber utama adalah Sukoco, kepala desa Wiladeg.
Dalam paparannya, Sukoco menjelaskan bahwa radio komunitas di Wiladeg mulai dirintis sejak tahun 2002 dengan bantuan seorang relawan bernama Kusuma. Adanya radio komunitas ini sangat efektif untuk mengkomunikasikan kepentingan pemerintah desa dan masyarakat.
Menurut Sukoco, ide pendirian radio komunitas ini dilandasi adanya pemikitan bahwa kehadiran radio komunitas di desa adalah sebagai bagian dari pemenuhan hak informasi masyarakat yang harus dipenuhi oleh negara. (Bersambung)

Oktober 29, 2007

Mensyukuri Nikmat Kemerdekaan

Hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia yang jatuh setiap 17 Agustus akan segera tiba. Sudut-sudut jalan sempit terlihat rapi dengan hiasan taman. Tak ketinggalan pula, umbul-umbul serta spanduk bertuliskan Dirgahayu Kemerdekaan RI Ke-58 bertebaran, dan tentu saja setiap warga mengibarkan bendera merah putih.
Pada hakikatnya, kemerdekaan adalah nikmat Allah yang tak tehingga bagi bangsa Indonesia. Siapa sangka bahwa bambu runcing yang digunakan nenek moyang kita mampu merobohkan tank-tank canggih milik para penjajah. Maka tidaklah mengherankan jika founding fathers negeri ini mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan yang secara implisit ditulis dalam pembukaan (Preambule) UUD 1945.
Sebagai bangsa yang beradab, tentu kita harus pandai berterima kasih, memanjatkan syukur kepada Tuhan YME. Tidak mengingkari segala nikmat yang telah diberikan oleh-Nya, yang bisa mengakibatkan Tuhan akan menurunkan azab.
Dalam al- Qur an Surat al- Maidah ayat 20, Allah becerita tentang kaum Nabi Musa yang diminta bersyukur karena telah diberi kemerdekaan dan dibebaskan dari penindasan Fir’aun, ”Dan (ingtlah) ketika Musa berkata pada kaumnya, “Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atas kamu ketika Dia mengangkat Nabi-Nabi diantaramu, dan dijadikannya kamu orang-orang yang merdeka (bebas dari penindsan Fir’aun).
Bersyukur atas nikmat adalah sesuatu yang patut dilakukan. Allah senantiasa mengingatkan hamba-Nya agar mensyukuri apa yang telah Dia berikan, dan jangan sekali-kali mengingkari-Nya. “Bersyukurlah atas kenikmatan-Ku dan Janganlah mengingkari-Ku”, Demikian Allah berfirman dalam al- Qur an surat al- Baqoroh ayat 152 yang mengingatkan kita agar bersyukur atas karunia dan kenikmatan yang telah dilimpahkan pada kita.
Lantas bagaimana kita selayaknya mensyukuri nikmat kemerdekaan ini? Salah seorang Sahabat Nabi, yakni Sa’ad bin Abi Waqqosh, bercerita bahwa suatu saat ia keluar bersama Rasul S.A.W menuju ke Madinah. Sesampai di daerah Azwara beliau turun dari ontanya, lantas berdo’a sejenak sambil mengangkat kedua tangannya. Lalu melakukan sujud yang cukup panjang dan kemudian berdo’a lagi. Lantas sujud kembali untuk kedua kalinya. Dan hal itu beliau lakukan sampai tiga kali. Sabda beliau; sesungguhnya aku memohon kepada Tuhanku, agar aku diperkenankan mensyafa’ati umatku, lalu Tuhan memperkenankan hal itu hanya sepertiga umatku saja. Kemudian aku turun sujud lagi hingga tiga kali seraya memohon terus untuk seluruh umatku, hingga diterimalah permohonanku untuk memberi syafa’at pada seluruh umatku. Maka, (sebagai ungkapan terima kasih) aku melakukan sujud syukur kepada Tuhanku.
Terkabulnya sebuah do’a merupakan kenikmatan yang tiada terkira. Dengan penuh kesabaran, Rosulallah berdo’a hingga permohonannya dipenuhi oleh Allah. Begitu juga nenek moyang kita dahulu, dengan penuh kesabaran pula, mereka meminta kepada Allah agar diberikan kemerdekaan dan lepas dari belenggu penjajah.
Sebagai masyarakat yang tinggal menikmati kemerdekaan ini, sepatutnya kita meniru tindakan Nabi tatkala beliau memperoleh nikmat. Bukankah akan menjadi lebih indah, jika disamping memeriahkan peringatan kemerdekaan RI yang ke-58, disamping menggelar lomba-lomba, kita juga melaksanakan sujud syukur sebagai tanda terima kasih kepada Tuhan YME.

Oktober 26, 2007

Gerakan Islam dalam Lipatan Asas Tunggal; Studi atas NU di Era 1970-1980-an

Sekedar Pengantar
Salah satu dampak penetrasi Barat ke Dunia Islam adalah menyangkut konsep dan sistem politik kenegaraan. Konsep dari Barat, misalnya nation-state, tidak saja asing, tapi juga a-historis bagi sebagian muslim.[1] Pada gilirannya, hal ini memunculkan problem tersendiri ketika hendak memasuki wilayah konsep dan praksis penyelenggaraan negara. Problem ini menjadi kian kentara karena memunculkan dilema kepatuhan di level masyarakat, kepada negara dan atau agama. Sebagai warga negara, ia harus mematuhi konstitusi yang digariskan. Di sisi lain, sebagai umat beragama, ia memanggul mandat menjalankan dan meyakini agamanya dalam kondisi apapun.
Dalam konteks dilema kepatuhan tersebut, menjadi kian runcing persoalannya ketika negara mengharuskan adanya ideologi atau asas tunggal[2] bagi warga negaranya, terutama dalam berorganisasi. Indonesia misalnya. Pada tahun 1983, Pancasila ditetapkan oleh MPR sebagai satu-satunya asas untuk semua organisasi sosial dan politik. Tak pelak, keputusan ini menjadi babak baru dunia ke-ormas-an bagi masyarakat Indonesia. Konsekwensinya, semua organisasi sosial-politik di Indonesia, tak terkecuali NU, harus bersiap diri menyesuaikan kebijakan tersebut.[3]
Keputusan ini menjadi kian kuat ketika tahun 1985, Pemerintahan Soeharto mengesahkan UU No. 8/1985 tentang Ormas dan diikuti dengan PP No. 18/1986, yang menyatakan bahwa semua organisasi sosial, agama, dan politik harus menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas ideologis dan filosofis mereka. Bagi organisasi yang menolak memasukkan Pancasila dalam AD/ART atau piagam, akan dilarang oleh pemerintah.[4]
Dalam konteks Islam dan Negara-Bangsa, menjadi menarik untuk membahas pergolakan NU dalam merespon kebijakan pemerintah khususnya pemberlakuan asas tunggal (disingkat astung) bagi semua organisasi, dan bagaimana gerakan NU pasca Khittah dan menerima astung. Pilihan terhadap NU, karena organisasi inilah yang pertama kali menerima Pancasila sebagai astung.[5] Dengan begitu, ia memengaruhi dan menjadi cermin organisasi lain ketika menyikapi Pancasila sebagai astung.
[1] Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam; dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 10
[2] Asas tunggal merupakan prinsip yang terdapat dalam ideologi nasional, Pancasila, yang diberlakukan sebagai asas tunggal bagi semua partai politik dan organisasi massa pada tahun 1985. lihat Daftar Kata dalam Andrée Feillard, NU vis a vis Negara; Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, terj. Lesmana, (Yogykarta: LKiS, 1999), hal. 457
[3] Keputusan ini dituangkan dalam Ketetapan MPR No. II/MPR/1983 Tentang GBHN. Einar M. Sitompul, NU dan Pancasila, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989), hal. 24
[4] Pengesahan UU ini melewati perdebatan panas. Berbagai organisasi, terutama organisasi agama, khawatir bahwa dengan mengambil Pancasila sebagai astung (satu-satunya dasar ideologis), akan mengurangi integritas, kebebasan organisasi mereka, dan bahkan mengganti raison d’etre dengan ideologi sekuler. Douglas E. Ramage, Percaturan Politik Di Indonesia; Demokrasi, Islam dan Ideologi Toleransi, terj: Hartono Hadikusumo, (Yogyakarta: Matabangsa, 2002), hal. 5-6. Utusan NU di parlemen bahkan pernah walk out ketika DPR menyidangkan Pancasila sebagai indoktrinasi ideologi resmi. Martin van Bruinessen, NU; Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, terj. Farid Wajidi, (Yogyakarta: LKiS, 1994), hal. 4
[5] Tentang hal ini Mahbub Junaidi menyatakan, NU justru punya daya lentur dan menyambut kedinamisan sebagai hukum obyektif yang tak perlu ditentang, tapi digandeng supaya lempang jalannya. Mahbub Junaidi, “Pengantar Penerbitan,” dalam PBNU, Nahdlatul Ulama Kembali ke Khittah 1926, (Bandung: Risalah, 1985), hal. 1

Tulisan diatas hanya sebagian kecil dari buku Pergumulan tak Kunjung Usai; Islam dan Negara-Bangsa di Indonesia diterbitkan oleh Politeia Press Yogyakarta (editor; M. Zainal Anwar dan A. Saifuddin/Februari/2007).