Ketika masih duduk di bangku tsanawiyah dulu, tepatnya di madrasah Qudsiyyah-Kudus- sekira 16 tahun yang lalu, saya pernah mendapat pelajaran ilmu Falak atau ilmu Hisab. Dalam ilmu ini, saya tidak hanya belajar hitung menghitung waktu untuk menentukan awal waktu sholat maupun menghitung awal bulan hijriyah dengan beragam rumus dari kitab badi’at al-mitsal, tetapi juga mendapat teori untuk menghitung lama-pendeknya suatu siang atau malam dalam suatu hari.
Pernah suatu waktu, saya dan teman-teman diminta pak guru untuk menghitung lama-pendeknya waktu siang di suatu kota di Rusia. Yang terjadi saat itu adalah waktu siang tidak lebih hanya sekitar 6-7 jam. Kami pun mencoba membayangkan bagaimana jika harus berpuasa Ramadhan dengan kondisi dimana siang lebih panjang daripada malam. Karena hanya sekedar tugas dari pak guru, saya yang saat itu masih berumur belasan tahun dan tidak pernah bersentuhan langsung dengan kondisi dimana siang atau malam menjadi lebih panjang, tidak memiliki refleksi apapun terhadapnya. Apalagi implikasinya pada kehidupan yang lebih luas. Tentu, saya dan teman-teman hanya bisa berkata; ini pak hasil tugasnya. Ternyata siangnya lebih panjang daripada malamnya. Pak guru sendiri tidak banyak memberi penjelasan apa yang terjadi dengan suatu daerah dimana siang lebih panjang dan malam begitu pendek.
Tapi, 16 tahun kemudian, ketika saya sedang tinggal di Adelaide, ibukota negara bagian South Australia, mengalami kondisi dimana siang menjadi lebih panjang daripada malamya. Ya, itu terjadi pada hari Ahad, 5 Oktober 2008 lalu. Orang menyebutnya sebagai Daylight saving time. Sebagai pendatang baru di negerinya Kevin Rudd, tiba-tiba saja ada pemberitahuan bahwa putaran jam harus berputar lebih cepat 1 jam. Seumur-umur, baru kali ini ada perintah untuh mempercepat putaran jarum hingga 1 jam. Artinya, jam kita yang awalnya jam 12.00, langsung diminta berputar pada arah jam 1.
Si Raymond el Halou, kakek asal Lebanon yang tinggal serumah, bahkan sempat kelabakan ketika mau pergi ke gereja. Pasalnya, dia mengira masih jam 08.30 pagi, padahal sebetulnya sudah jam 09.30, waktu dimana dia harus bersiap pergi ke gereja. Untungnya, temannya sesama jamaah gereja segera datang dan membangunkannya. Ketika dia pulang dari gereja, dia bercerita kalau tidak hanya dia yang kelabakan dengan perubahan jam tersebut. Banyak jamaah gereja yang datangnya terlambat gara-gara daylight saving time ini. “Pemerintah Australia telah mengumumkan soal daylight saving time ini kepada warga baik lewat radio atau televisi,” kata Raymond kepadaku. Namanya orang, tetap saja ada lupanya. Al-insan mahal al-qotho' wa an-nisyan, kata orang arab.
Memang. Daylight saving time ini membuat waktu siang lebih lama daripada malam hari. Sebagai gambaran, waktu sholat maghrib saja baru tiba pukul 07.30 PM. Artinya, walau jam 7 malam, tapi matahari masih bersinar dengan santainya, dan baru tenggelam sekira setengah jam kemudian. Dan paginya, matahari ini akan muncul lebih awal.
Adanya Daylight saving time ini secara tidak langsung menjadi berkah bagi mereka yang bekerja di kebun, misalnya. Tak pelak, orang yang bekerja di kebun strawbery misalnya, dapat bekerja sejak jam 6 AM hingga 7 PM. 13 jam! Ya, karena pada jam 7 PM, matahari masih menyinari bumi. Karena itu, buah strawbery masih bisa dipetik.
Akan tetapi, hal ini tidak mengubah jam kerja di sektor formal. Walaupun pada jam 7 PM, matahari masih bersinar, warga tidak akan menambah jam kerja hingga matahari terbenam. Hal ini karena mereka mematok jam kerja rata-rata pada pukul 7/8 AM hingga 4/5 PM.
Ya, jika kembali Indonesia kelak, tentu saya bisa bercerita tentang negeri dimana siang bisa begitu panjang dan malam begitu pendek. Jika 16 tahun lalu hal ini baru sekedar hitungan teori dalam secarik kertas, saat ini saya mengalaminya sendiri.....
Oktober 15, 2008
Siang yang begitu panjang.....
Diposting oleh
M. Zainal Anwar
di
16.29
0
komentar
Label: Jelajah
Oktober 07, 2008
Liburan "Kupatan"
Di Kudus atau mungkin juga di daerah lain di Indonesia, kupatan sering identik dengan plesir. Bagi orang jawa, kupatan adalah hari raya atau istilah jawanya bodo kupat. Bodo Kupat ini jatuh tujuh hari setelah hari raya idul Fitri. Mungkin bodo kupat ini diperuntukkan bagi mereka yang berpuasa enam hari berturut-turut pasca 1 Syawal. Yang pasti, kupatan selalu identik dengan berlibur ke tempat wisata.
Mungkin karena terdorong faktor itu, saya beserta istri dan beberapa teman pergi melancong ke beberapa tempat di Adelaide. Setelah berjalan ke luar kota sekitar 45 menit, akhirnya kami tiba di tempat tujuan pertama yakni Cleland Wildlife Park. Disini, akhirnya resmilah saya berada di Aussie. Lho kok??? Ya, kalau belum ketemu kangguru dan saudaranya koala, katanya belum sah menginjakkan kaki di Aussie. Ini mungkin seperti pergi ke Malioboro jika datang ke Yogyakarta. Setelah itu, perjalanan berlanjut ke mount Lofty. Di Mt. Lofty ini, kita bisa melihat kota Adelaide dari atas bukit. Hanya itu yang bisa dilihat, karena sampai di Mt. Lofty ini sudah terlalu sore yakni jam 5 sehingga sudah hampir ditutup.
Perjalanan pun berlanjut ke Hahndorf, sebuah kota kecil, semacam kecamatan kalau di Indonesia. Hahndorf merupakan daerah di Adelaide yang pertama kali disambangi oleh keluarga besar Prussian Lutheran pada 1839.
Nama Hahndorf sendiri berasal dari Captain Dirk Hahn yang tiba di Adelaide pada 1838 bersama para imigran lain dari Eastern Provinces of Prussia. Daerah ini sendiri sangat bernuansa jerman karena memang pada awalnya banyak didiami para imigran asal Jerman. Karena kami pergi pada hari sabtu dan sudah sore hari, banyak toko yang sudah tutup.
Walhasil, liburan dalam suasana kupatan pun tetap meriah...
Diposting oleh
M. Zainal Anwar
di
11.32
0
komentar
Lebaran di OZ
Diposting oleh
M. Zainal Anwar
di
10.53
0
komentar
September 25, 2008
Jelajah Adelaide
.jpg)
.jpg)
.jpg)
Diposting oleh
M. Zainal Anwar
di
13.32
0
komentar
Label: Jelajah
September 18, 2008
Ramadhan Kaum Minoritas
Terhitung sudah 12 hari saya menjalani puasa di Australia. Negeri yang sering dijuluki negeri kangguru ini tak pelak memberi nuansa dan pengalaman berbeda dalam menjalani ibadah puasa. Hal ini tak bisa dihindari mengingat jumlah umat Islam, terutama di Adelaide-South Australia di mana saya tinggal, terhitung minoritas. Hingga saya menulis, saya masih belum bisa memperoleh informasi jumlah umat Islam di Adelaide maupun di Australia secara keseluruhan. Sebagai gambaran, pelaksanaan sholat Jumat sejauh ini baru saya temukan hanya di sebuah common room di kompleks Flinders University. Common room merupakan ruang yang disediakan pihak kampus sebagai tempat pelaksanaan ibadah semua agama. Jamaah sholat jumat sebagian besar diisi orang asal Indonesia.
Di negeri macam Indonesia, di mana penduduknya mayoritas beragama Islam, menjalankan puasa Ramadhan seperti sebuah hajatan besar. Hampir di tiap sudut kota kita bisa menemukan ucapan selamat menjalankan ibadah puasa. Tak hanya itu, hampir semua media, baik cetak maupun televisi, mengubah format acaranya dengan liputan atau tayangan bernuansa religi. Belum lagi tiap sore di sudut jalan atau perempatan, kita hampir bisa menemukan penjaja makanan kecil atau kolak untuk sekedar menjadi makanan pembuka saat maghrib tiba. Pada waktu sahur pun, suasana lebih ramai ketika sekelompok anak muda berkeliling menabuh kentongan untuk membangunkan mereka yang hendak makan sahur.
Tidak sebagaimana di Indonesia, menjalankan ibadah puasa di negeri yang bisa dikatakan menempatkan agama atau keyakinan seseorang sebagai sesuatu yang privat, menjadi begitu individual. Individualitas dalam beragama bisa dimaknai sebagai upaya menjalankan ibadah dengan lebih mengandalkan kemandirian. Waktu untuk berbuka atau sahur tidak bisa lagi mengandalkan suara adzan, tabuhan bedug atau bunyi sirine dari masjid, tetapi harus melihat jam yang ada di rumah masing-masing. Tidak ada pula penjual kolak di perempatan jalan atau orang berkumpul di pusat kota untuk menanti waktu berbuka. Istilahnya ngabuburit. Di Australia, orang menanti berbuka puasa di rumah masing-masing. Kalaupun ada buka puasa bersama, cenderung dilakukan di kampus dan dalam jumlah yang terbatas.
***
Di Indonesia, ibadah yang dilakukan, baik puasa Ramadhan atau sholat, seringkali mengandalkan institusi masjid untuk menerima adanya penanda waktu sholat atau waktu berbuka. Hal ini tentu tidak bisa lagi diandalkan di negeri macam Australia. Waktu untuk sholat dan ibadah yang lainnya lebih banyak mengandalkan jadwal sholat yang bisa diambil dari situs islamicfinder.org. Dari situs inilah, saya menemukan penanda waktu sholat, berbuka hingga sahur.
Akan tetapi, justru disinilah makna puasa, bahkan mungkin ibadah-ibadah lainnya, menjadi lebih terlihat. Ketika kita menjalankan ibadah sebagai umat mayoritas, dengan atau tanpa sengaja, kita seolah meminta pemakluman orang lain yang tidak seagama untuk menghormati apa yang sedang kita jalankan. Terkadang, upaya pemakluman ini dilakukan dengan cara kekerasan. Tentu kita ingat adanya sekelompok orang yang menyerang tempat hiburan dan meminta pemiliknya untuk menutup lokasi usaha tersebut selama bulan Ramadhan. Alasannya, untuk menghormati orang yang menjalankan ibadah puasa. Hal ini menyiratkan adanya “pemaksaan” bahwa orang lain harus memahami ibadah yang kita jalankan.
Dalam konteks tersebut, rasa hormat yang dilakukan orang lain yang tidak seagama kepada umat Islam yang sedang menjalankan ibadah puasa, misalnya, bukan lagi dilandasi pada penghormatan atas ibadah yang kita jalankan, akan tetapi karena rasa takut sebagai minoritas yang harus menghormati apa yang sedang dilakukan oleh kaum mayoritas.
Kultur mayoritas sering membuat orang menjadi egois dan kurang mempedulikan apalagi menghormati keyakinan orang yang berbeda. Memang tidak semua orang yang merasa diri sebagai mayoritas menjadi mau menang sendiri. Harus diakui pula, ada orang atau komunitas yang berada dalam payung mayoritas tapi tetap bisa menghormati bahkan melindungi kelompok lain yang minoritas. Akan tetapi pada umumnya, budaya kelompok mayoritas sering kali merasa harus menguasi dan memenangi segalanya.
Saya lalu teringat sebuah peristiwa beberapa tahun silam ketika masih menimba ilmu di Yogyakarta. Waktu itu, saya mengontrak rumah dengan beberapa teman yang sama-sama kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri di Yogyakarta. Mereka ada yang berasal dari Banyuwangi, Semarang dan ada pula yang dari Sunda. Nah, waktu bulan puasa, salah seorang teman saya yang berasal dari Sunda menyimpan setumpukan pamflet di kamarnya. Tanpa sengaja, ketika saya dan teman-teman yang lain berada di kamarnya dan membaca tulisan dalam pamflet tersebut, saya cukup terperangah. Tulisannya kurang lebih; Hormati Bulan Puasa. Dilarang Berjualan Makanan dan Minuman pada Waktu Siang Hari.
Tidak ada yang salah dalam pamflet tersebut. Orang sah-sah saja membuat himbauan atau nasehat. Tetapi, dalam ruang publik, orang seharusnya menghormati orang lain yang tidak seagama yang notabene tidak berpuasa dalam bulan Ramadhan. Secara otomatis, mereka pun butuh makan dan minum dan kadang kala hal itu bisa terpenuhi dengan membeli di warung makan, misalnya.
Sebagai minoritas yang sedang menjalankan ibadah puasa di negeri yang mayoritas tidak beragama Islam, ada pengalaman, pelajaran dan tantangan. Saya menjadi terbiasa bersanding dengan orang yang makan dan minum di tempat umum. Ketika sedang berada di halte dan menunggu bis, misalnya, walaupun sedang berpuasa dan kebetulan cuaca di Adelaide mulai masuk musim panas, saya tidak merasa dilecehkan ketika ada orang makan dan minum.
Pun, keberagamaan saya tidak berkurang nilainya ketika orang dengan seenaknya makan dan minum ketika saya berpuasa. Boleh jadi karena mereka tidak tahu bahwa saya sedang berpuasa di mana saya tidak boleh makan dan minum pada waktu siang hari hingga saat maghrib tiba. Saya pun teringat dengan ajaran agama yang intinya mengajarkan pada kita bahwa janganlah memarahi atau mengatakan sesuatu yang jelek pada orang lain karena mereka tidak tahu apa yang kita lakukan. Niscaya mereka akan melakukan hal yang lebih buruk.
Mengingat ajaran ini, saya tidak perlu repot-repot pasang pamflet untuk melarang orang berjualan makanan dan minuman pada waktu bulan Ramadhan atau beramai-ramai mendatangi klub hiburan dan meminta mereka untuk menutupnya selama bulan Ramadhan. Saya yakin, penghormatan mereka atas kita tidak akan muncul dengan sepenuh hati.
bisa dilihat di http://lkis.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=36&Itemid=3
Diposting oleh
M. Zainal Anwar
di
11.13
0
komentar
Februari 19, 2008
Lobang Hitam Dunia Pendidikan
Mahasiswa yang sedang menyelesaikan skripsi, lazimnya adalah mereka yang telah mengenyam bangku kuliah, paling tidak, dalam kurun 4 tahun atau 8 semester. Dalam rentang waktu tersebut, mahasiswa diidealkan telah memperoleh beragam teori dan metodologi penelitian agar mampu menyelesaikan tugas akhir berupa penulisan skripsi.
Tapi, apa lacur. Idealitas yang demikian tak selamanya terwujud sebagaimana diharapkan para pengajarnya. Seringkali, mahasiswa, dengan beragam alasan, baru bisa menyelesaikan studinya dalam jangka waktu 5-7 tahun. Artinya, ia membutuhkan masa yang tak pendek untuk mengunyah teori yang didapatnya.
Alasan yang mengemuka, biasanya, karena sibuk dengan aktifitas di luar sehingga banyak mata kuliah yang harus diulang sebagaimana yang dialami oleh aktifis kampus atau pergerakan. Selain itu, mahasiswa sering kali berkilah bahwa dirinya tidak hanya kuliah saja tapi juga bekerja hingga terkadang harus mengambil cuti.
Salahkah mereka? Tentu saja tidak. Semua itu adalah fenomena yang lazim ditemui di dunia perguruan tinggi kita. Namun demikian, dengan aturan yang mengharuskan seorang mahasiswa hanya mempunyai batas waktu sampai 14 semester atau 7 tahun membuat mereka dikejar-kejar pertanyaan yang seringkali datang dari orang tua, kapan mau lulus, nak? Jika demikian, maka hanya ada satu pilihan bagi mahasiswa, menyelesaikan skripsi atau tidak lulus sama sekali.
Fenomena biro jasa skripsi, sebagaimana diberitakan Suara Merdeka beberapa waktu lalu, menyuguhkan fakta betapa dunia pendidikan tinggi di Indonesia telah sebegitu mengenaskan. Karena ambisi ingin secepatnya lulus, acapkali seorang mahasiswa mengambil jalan pintas dan berpikir pendek, kenapa tidak memanfaatkan biro jasa skripsi saja, toh sulit dilacak.
Bagi penulis, jual-beli skripsi merupakan satu diantara beragam fakta tentang komersialisasi pendidikan di Indonesia. Tentu masyarakat pendidikan sepakat bahwa para pembuat skripsi yang sering bertopeng biro jasa skripsi hanya akan menciptakan sarjana karbitan dan output yang asal-asalan.
Selain itu, adanya mahasiswa yang ingin dibuatkan skripsi menunjukkan bahwa proses pendidikan yang berjalan di perguruan tinggi harus ditelaah ulang. Mengapa ia tidak mampu membentuk dan menanamkan nilai-nilai intelektual, seperti kejujuran dan tanggungjawab, pada pribadi mahasiswanya?
Proses pembelajaran di perguruan tinggi, seharusnya berjalan paralel dengan penanaman nilai-nilai intelektualitas. Biro jasa skripsi menunjukkan bahwa kedua hal itu berjalan tidak seiring. Proses pendidikan tetap berlangsung, tapi ia justru menindas dan jauh dari nilai-nilai intelektualitas yang jelas-jelas tidak mendapatkan tempat.
Skripsi, bagi mahasiswa, semestinya menjadi kebanggaan tersendiri. Ia tidak hanya menjadi tugas akhir dan jalan menuju gelar sarjana. Lebih dari itu, skripsi juga menjadi manifestasi intelektual yang bisa menjadi ukuran sejauhmana kapasitas intelektual seseorang.
Tak jarang, kita menemukan buku yang mulanya adalah skripsi. Dalam konteks ini, ada beberapa buku yang bisa ditunjukkan misalnya, H.M Misbach; Sosok dan Kontroversi Pemikirannya oleh Nor Hiqmah, mahasiswa pada Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta atau buku Film, Ideologi dan Militer; Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia yang ditulis Budi Irawanto, mahasiswa Fisipol UGM.
Adanya buku yang mulanya adalah skripsi, menyiratkan adanya pengakuan publik atas daya intelektual seseorang. Ini tenrtu dicapai dengan tidak mudah. Tapi, jika skripsi dibuatkan oleh orang lain, layakkah ia mendapat apresiasi dari masyarakat? tentu jawabannya tidak, sebaik apapun kualitas skripsi tersebut.
Akibat Mcdonaldisasi Perguruan Tinggi?
Bagi penulis, munculnya cerita-cerita tentang “joki-joki” yang siap membuatkan skripsi seorang mahasiswa, mengingatkan kita akan fenomena Mcdonaldisasi dalam dunia pendidikan di perguruan tinggi.
Istilah Mcdonaldisasi ini diperkenalkan oleh Heru Nugroho (2002). Menurutnya, ada empat ciri Mcdonaldisasi yang melanda perguruan tinggi kita, dan tidak menutup kemungkinan bahwa hal ini telah menjangkiti institusi-institusi pendidikan di negeri kita. Pertama, kuantifikasi, yakni ketika proses dan cara evalusasi hasil pendidikan hanya dilihat dari aspek kuantitas saja. Kedua, efisiensi, yaitu program studi yang dinilai menghasilkan uang akan semakin didorong dan difasilitasi, sedangkan yang kurang menghasilkan uang akan ditutup. Ketiga, prinsip keterprediksian, artinya kurikulum pendidikan harus mengacu pada kebutuhan pasar tenga kerja. Di sini, asas pendidikan untuk kesejahteraan rakyat semakin terabaikan, sebagai gantinya pendidikan dilaksanakan untuk mendukung pasar atau kapitalisme. Dan Keempat, prinsip teknologisasi, yaitu praktik pendidikan akan terselenggara dan sukses jika menggunakan dan didukung oleh teknologi tinggi atau hi-tech.
Adanya Mcdonaldisasi pendidikan yang melanda perguruan tinggi kita, tentu berimbas pada karakter mahasiswa yang mementingkan asal lulus dan mengabaikan proses pendidikan dan nilai-nilai ilmiah yang seharusnya dijalankan di perguruan tinggi.
Menjamurnya institusi pendidikan tinggi yang hanya memenuhi target untuk memberikan gelar kepada mahasiswanya, entah untuk menaikkan gaji atau sekedar cepat lulus agar segera memperoleh kerja, membuat mahasiswa juga berlomba-lomba mempercepat penulisan skripsi.
Bagi mereka yang pandai, hal ini tentu bukan masalah serius. Sebaliknya, bagi mereka yang modal pengetahuan dan kapasitas intelektualnya pas-pasan, tentu akan menoleh ke biro jasa skripsi. Dengan uang yang secukupnya, pergi ke tukang pembuat skripsi tentu lebih mengenakkan.
Lobang Hitam Dunia Pendidikan
Jasa penulisan skripsi, apapun alasannya, tentu tak bisa dibenarkan. Dalam konteks pemikiran Paulo Freire, ini bisa disebut sebagai penindasan mereka yang kuat terhadap mereka yang lemah. Penindasan ini terjadi atas kuasa pengetahuan seseorang secara tidak langsung.
Bagi penulis, fakta-fakta pendidikan semacam ini layak disebut sebagai lobang hitam pendidikan. Sistem pendidikan perguruan tinggi, dengan kurikulum yang dibangga-banggakan itu, ternyata hanya menghasilkan lobang-lobang yang tidak disadari oleh pengelolanya.
Bisnis di bidang jasa pembuatan skripsi telah memunculkan simbiosis mutualisme diantara pihak-pihak yang berkepentingan. Bagi si pembuat, dengan kepandaiannya, ia bisa “melacurkan” diri dengan membuatkan skripsi dan menerima uang yang cukup lumayan dalam waktu relatif singkat dan modal yang ala kadarnya. Bagi konsumen, tentu ia bisa berleha-leha dan tinggal menerima tugas akhir dengan hanya bermodalkan uang 1-2 juta rupiah.
Yang lebih ironi, penulis bahkan pernah menjumpai seorang kawan yang mendapatkan “pesanan” dari seseorang untuk dibuatkan tesis. Lho? Begitulah kenyataannya. Kawan penulis tadi ternyata tidak sekedar menerima “kue” bernama skripsi, tapi tesis pun mampu diolahnya.
Inikah lembah hitam dunia pendidikan Indonesia?
Diposting oleh
M. Zainal Anwar
di
20.33
0
komentar
Label: urun rembug
Modal Awal 17 Juta (Sambung Cerita Radio Komunitas)
Selain itu, lanjut Sukoco, adanya radio sebagai media informasi adalah bagian dari pemenuhan hak informasi masyarakat yang harus dipenuhi oleh negara.Sukoco berkisah, ketika hendak mendirikan radio komunitas ini, pihaknya menggelar sarasehan warga. Hal ini dilakukan karena Sukoco ingin bahwa masyarakat tahu fungsi dan manfaat dari radio komunitas. Dengan pelibatan warga, Sukoco berharap warga merasa ikut memiliki.
Harapan Sukoco berbuah manis. Masyarakat bergotong royong membangun radio yang membutuhkan modal awal sebesar 17 juta. Masyarakat memberikan sumbangan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Setelah berhasil mengudara, pengelola radio komunitas ini akhirnya memutar siaran selama satu malam dan mendapat respon yang baik dari masyarakat.
Tiga bulan setelah radio di-launching, pemerintah pusat mengeluarkan UU 32 tahun 2002 tentang penyiaran yang membagi siaran radio menjadi tiga; publik, komunitas, dan swasta. Dan radio Wiladeg akhirnya memilih menjadi radio komunitas.
Pada tahun 2005, PP No. 51 tahun 2005 tentang penyiaran baru dikeluarkan. Di dalam PP tersebut diatur bahwa kepemilikan radio komunitas harus dimiliki komunitas. Pemdes Wiladeg lalu mengusahakan legalitas radio tersebut dengan bergabung di Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta (JRKY), serta membuat akte notaris dengan biaya 100 ribu dan dukungan 250 orang jiwa. Sampai sekarang, kata Sukoco, keberadaan radio komunitas tetap terjaga meskipun pengelola radionya tidak digaji.
Untuk membiayai operasional radio komunitas tersebut, sejak tahun 2003 desa mengalokasikan dana APBDes sebesar 2,5 juta. Alokasi dana ini untuk membeli dan memperbaiki peralatan.
Radio komunitas di Wiladeg ini menggunakan 2,5 kilo dengan batasan mesin 50 watt, tinggi antene sekitar 32 meter, dan alat-alatnya adalah rakitan. Supaya tidak bertabrakan dengan frekuensi lain, pengelola radio memakai pengunci frekuensi. Kalau menabrak frekuensi TV, maka diperbaiki terlebih dulu dan radio komunitas of air terlebih dulu. ”Soal ijin regulasi, pengelola radio sudah ajukan ijin ke Komite Penyiaran Indonesia (KPI),” tegas Sukoco.
Pada kesempatan diskusi, ada beberapa pertanyaan yang diajukan peserta. Rasidi, misalnya, menanyakan lebih jauh soal program siaran wayang kulit dan wungon selapaman. Lalu Sukri menanyakan, apakah radio komunitas bisa dipakai untuk kegiatan-kegiatan politis, misalnya kampanye calon pejabat. Lain lagi dengan Iskandar. Ia bertanya soal bagaimana cara menumbuhkan kecintaan masyarakat pada radio komunitas.
Atas beragam pertanyaan tersebut, Sukoco memberi respon yang cukup hangat. Terkait wungon selapanan, Wungan adalah aktivitas begadang yang dilakukan secara rutin pada malam Jum’at Kliwon. Acaranya bukan hanya begadang tapi ada sarasehan budaya dan menampilkan budaya tradisional kerawitan. Pesertanya sekitar 150 orang. Pemdes Wiladeg berharap dengan adanya sarasehan ini muncul ide membuat Wiladeg sebagai desa budaya. Biaya untuk wungon selapanan ini sudah dianggarkan di APBDes yang mencapai 8-10 juta/tahun.
Soal pendengar radio, dengan setengah berkelakar, Sukoco menjawab bahwa pengelola radio komunitas di Wiladeg tidak mempunyai siaran radio yang tidak disukai masyarakat. “Ini karena acara yang ada adalah acaranya pendengar,” imbuh Sukoco. Artinya, format acara yang ditampilkan di radio komunitas memang dibuat oleh masyarakat. Itulah kenapa sampai sekarang radio ini tidak pernah berhenti bersiaran karena masyarakat sangat menyenangi siaran radio.
Program radio yang disusun sangat beragam. Ada program siaran musik baik lagu dangdut, lagu lama dan campur sari. Di sela-sela lagu tersebut bisa disisipkan informasi yang disampaikan oleh masyarakat. Masyarakat yang menyampaikan informasi ini tidak dipungut, misalnya ada informasi kehilangan barang.
Mengenai program siaran yang bersifat politis, misalnya kampanye calon, maka ini belum bisa diterima dan disiarkan di radio komunitas. Dengan catatan bahwa program siaran tersebut hanya dilakukan satu pihak saja. Kalau program kampanye dilakukan secara berbarengan, maka hal ini tidak dipermasalahkan. Sukoco menegaskan bahwa jika hanya untuk kepentingan satu calon saja, maka pemdes Wiladeg akan menolak. Maksud berbarengan ini tidak harus dalam waktu yang sama, tapi bisa bergantian. Yang penting setiap calon mendapat porsi yang sama.
Peran komunitas juga terlihat ketika pemilihan kepala desa atau kepala dukuh. Sistem yang dipakai adalah sistem komputerisasi. Salah satu data yang ditampilkan adalah angka kehadiran pemilih. Jadi, ketika penutupan pencoblosan, masyarakat tahu berapa jumlah pemilih yang menggunakan hak suaranya. ”Karena itu, masyarakat tidak akan dbohongi oleh panitia,” ujar Sukoco.
Ke depan, kata Sukoco, Pemdes Wiladeg yakin bahwa eksistensi radio komunitas akan semakin kuat. Di akhir pemaparan, Sukoco mengatakan bahwa hanya radio komunitas yang bisa menjawab kepentingan masyarakat dan komunitas.
Diposting oleh
M. Zainal Anwar
di
17.50
0
komentar
Label: Jelajah